varendy's blog

for those who wanted to make a truly friendship buat penulis di seluruh dunia, kenalan yuk . . .

Monday, January 29, 2007

Sebuah Perjalanan (sebuah cerpen)

Sebuah Perjalanan
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Maret 2003

Pukul 03.45 WIB

Asalamualaikum warahmatullah . . .

Kuakhiri qiyamul lailku dengan dua ucapan suci itu, sejurus kemudian segera kubuka kitab kecil yang senantiasa setia menemaniku. Ayat demi ayat dari juz ke-29 segera kulahap habis, meninggalkan sebuah bait lagu terindah yang pernah dibuat, indah, sederhana namun mengandung kandungan yang sangat luar biasa, yang kuyakin tak seorangpun mampu menirunya, walau satu ayat saja. Tak ada suara lain yang terdengar selain suara lirihku dan suara mencuik yang datang dari luar rumahku. Dentangan datang menyeruak konsentrasiku, dentang jam kamarku, satu kali, dentang yang beberapa waktu sebelumnya telah berbunyi empat kali. Dentangan yang segera menyadarkanku akan kewajibanku, segera kubergegas mengambil air wudhu, ah segarnya! Lapat-lapat terdengar suara, panggilan suci kepada setiap insan di muka bumi ini untuk melaksanakan perintah, bukan, mungkin lebih tepatnya ajakan sang khalik. Kuayunkan langkah gontaiku menyusuri jalan gelap nan terang benderang, menjawab panggilan sang maharaja.








Januari 2003

Pukul 04.00 WIB

“Astaghfirullah” aku tiba-tiba terjaga, suasana sangat tenang, deru angin malam membelai kelam malam, menemani kesepian alam, sunyi, tidak ada orang bertopeng membawa pisau berdarah-darah, tidak ada seorang psycho yang mengejar-ngejar dengan chainsaw yang berbau amis, tak ada dokter gila yang ingin menyuntikku dengan suntikan berlabel tengkorak berisi cairan kental hijau pekat, sepi, kulangkahkan sepasang kakiku, kali ini tujuannya sangat jelas, entah mengapa kali ini aku sangat ingin segera menuju kamar mandiku dan mengambil air wudhu. Kurasakan dengan segenap indraku saat air menyentuh kulitku.

“Aah segarnya” ajaib! semua pikiran negatif yang bersarang diotakku seperti tersedot olehnya, ia bagaikan sebuah black hole yang takkan membiarkan sebutir debu lolos dari sergapannya, yang tertinggal hanyalah ketenangan, damai, otakku benar-benar fresh, seperti komputer yang baru diservis, motor yang baru masuk bengkel, bukan, bukan seperti itu, tetapi lebih seperti air sungai murni yang mengalir dengan tenangnya, tanpa pernah memikirkan akan tujuannya, berpasrah diri akan seluruh putusan-Nya, tak ada penyesalan, tak ada komplain, damai, benar-benar sangat tenang. Lamat-lamat terdengar suaraku yang keluar dari rongga tenggorokanku, lirih namun penuh kesungguhan, tujuh ayat pembuka lembaran agung, ummul qur’an . . . . .









September 2002

Pukul 04.37 WIB

Assholatu khairum minannauum 2x

Lapat-lapat panggilan suci itu sekali lagi bergema, keseantero kompleks rumahku, namun aku masih belum juga terjaga, 10 menit kemudian setelah arwahku terkumpul, aku terjaga itupun dengan susah payah, wekerku yang paling berjasa mengganggu mimpi indahku, tapi anehnya aku sangat senang, ini hari ke-7 aku tidak lagi dapat tidur tenang, aku selalu terjaga. Dengan mata agak nanar dan tangan yang meraba-raba aku berjalan, ya rabb betapa berat ujian ini menderaku, kuatkanlah selalu iman hambamu yang setipis kertas ini, kuatkanlah selalu niat didalam hatiku yang kelabu, hamba yang sangat dhaif ini benar-benar seperti debu dihadapan-Mu, kuatkanlah hamba agar mampu menyelesaikan semua ujian yang kau berikan dengan baik, sayup-sayup terdengar gemericik air.


Juli 2002

Pukul 05.46 WIB

“Kriiiiiiiing” Bunyi itu langsung menyentakkanku ke alam nyata, menyadarkanku dari F-2002 yang tadi tampak nyata sekali kukendarai. Kukucek mata sayuku lalu kulirik wekerku yang sudah lebih dari 10 menit berteriak-teriak. Kuhantam bagian atasnya dengan tinjuku, membungkam teriakannya, meninggalkan keheningan seketika, tak ada suara mencuik, tak ada daun yang bergesek, tak ada angin menderu, alam benar-benar tertidur pulas, yang tertinggal hanyalah suara desah nafas dan detik lemah jarum jam. Ingin segera kubasuh wajahku dengan air suci itu, memohon merintih dan mengadu kepada-Nya. Namun ternyata respon tubuhku malah mencoba memperbudakku kembali kekursi F-2002 ku, kucoba melawan tetapi dia terlalu kuat, atau aku memang dengan ikhlas dan sengaja menyerahkan seluruh kuasa kontrol tubuhku pada rayuannya? Dan aku pun kembali terlelap . . . .


April 2002

Pukul 05.50 WIB

“Kriiiiiiiiiiiiing”,”Bug !!”, “5 menit lagi deh”

Pukul 06.45 WIB

“Ham, ham, bangun ham, subuh”
“Iya mah, iya !!” Jawabku dengan mata seperempat watt, langkahku gontai, kepalaku terasa berkunang-kunang, pandanganku sangat kabur, bahkan bila seekor dinosaurus sekalipun berada didepan mataku, tak mungkin aku melihatnya, kakiku menyentuh sebuah kotak, dan wajahku mencium lantai dengan gemulainya, seakan lantai tersebut merupakan gymnasium senam olimpik.

Pukul 07.15 WIB

Kulajukan ninjaku menerobos kota Jakarta yang rupanya telah terbangun dari tidur singkatnya, dan sekarang tengah menggeliat kembali, sayangnya waktu bangunnya sangat tidak cocok dengan jadwalku, dari kejauhan terlihat kendaraan beroda empat sedang mengantri bagai ular naga yang panjang, melalui jalan tiga jalur yang kini seluruhnya tertutup oleh mereka, begitu pula kondisi dari arah yang berlawanan. Pedagang kaki lima, bajaj, tukang roti, tukang sayur, dan pejalan kaki, semuanya ikut bersatu padu didalamnya, melengkapi teriakan-teriakan isi kebun binatang yang bersahut-sahutan bagai koor sebuah mega opera, seorang bapak pengendara BMW dan seorang anak muda pengendara R-GR saling bertukar pendapat, atau lebih tepatnya perang urat leher, nampaknya sedang membicarakan kaca spion yang lebih mirip serpihan kaca kasar, aku hanya bisa tersenyum pahit.

Februari 2002

Pukul 07.00 WIB

Assalamualaikum Wr. Wb
Kuakhiri subuhku dengan sangat tergesa, ya ternyata untuk kesekian kalinya aku terlambat shalat subuh, mungkin karena aku terlalu lama bergelut dengan PS 2 ku, atatu karena aku sangat sibuk dengan kegiatan kuliahku, terlalu egoiskah aku? Aku rasa tidak, semua itu memang sudah tanggung jawabku, dan tuntutan untuk memenuhi semuanya membuat aku jauh dari-Nya, apakah itu hal yang benar? Ya mungkin saja . . .

Pukul 08.23 WIB

Aku terlambat, untuk kesekian kalinya dalam hidupku, kupikir aku dapat bangun lebih pagi kali ini, ternyata aku salah, kupercepat langkahku, dosenku pasti tidak akan senang dengan hal ini.

“Selamat pagi pak” akhirnya aku sampai ke kampus dengan terengah-engah dan dengan wajah berantakan, kombinasi sempurna dari capek, penat, stress, kurang tidur, dan kesal.
“Oh, anda, silahkan masuk, tapi sesuai dengan perjanjian kita pertama, anda tidak akan saya absen” Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun padaku
“Terima kasih, pak” senyumku sinis, tapi kenapa kali ini dia begitu baik?





Desember 2001

Pukul 07.30 WIB

Lagi-lagi kesiangan, ini sudah sangat sering terjadi, tapi kenapa selalu berulang? kenapa sih weker sialan itu tak bisa membangunkanku? rutukku dalam hati, tapi tetap kupercepat seluruh gerakan sendi tubuhku.

Pukul 20.17 WIB

Kulajukan ninja hijauku menembus batas kewajaran lalu lintas, menyelip diantara antrian kendaraan pribadi para pembesar ibukota, nampak tak jauh dariku sebuah Mercedes Benz E-Class yang ditumpangi wanita muda dengan pakaian ketat dan rok yang minim yang menggelayut manja ditangan seorang eksekutif paruh baya. Si eksekutif paruh baya hanya melongo ketika kaca spionnya sedikit tersentuh oleh stang ninjaku, yang kemudian tergontai jatuh dari bingkainya. “Cepat ilham cepat, sebentar lagi acara pestanya rani akan segera dimulai” batinku menjerit. Sebuah pesta biasa, cuma pesta sweet seventeennya Rani yang dihadiri oleh teman-temanku.

“Met ultah ya Ran, sori aku ga sempet nyari kado” kataku, sambil tanpa ragu menjabat tangan halusnya. Tanpa pernah berpikir kalau aku dan dia belum resmi berhubungan, bahkan sebagai pacar sekalipun, ah what the hell, biarkan sajalah. Dilanjutkan dengan acara cium pipi.
“Oh iya iya, gapapa ko, kamu dateng ke ultahku aja aku udah seneng banget, oya aku anter kamu keliling ya” katanya sambil menggandeng mesra tanganku.
“Oh thanks, ga usah, biar aku sendiri aja ran, makasih” sambil kulepas paksa gamitan tangannya dan segera melarikan diri menuju bagian lain dari taman itu.

Batinku membisik, untung sekali aku masih bisa mengendalikan hawa nafsuku. Masalahnya bukan saja pada gamitan tangannya itu, tapi juga pada pakaian yang dikenakan rani, pakaiannya benar-benar ketat dan terbuka. Ya rabb kuatkan imanku. Iman? Bukankah tadi aku sudah menggenggam tangannya? Mencium pipinya? Ah tapi itu masih wajar, bukankah aku masih bisa mengendalikan diri? buktinya saja aku masih bisa menahan nafsuku. Tapi aku bisa merasakan sesuatu, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang sangat halus, sesuatu yang abstrak, sialnya aku tak tahu apakah itu, kularikan ninjaku menuju rumahku, meninggalkan bayangan Rani dan kawan-kawanku yang memanggil-manggil namaku. Niatku sudah bulat, aku takkan menghadiri pesta macam apapun yang seperti itu. Tapi apa aku mampu, mengingat pesta sejenis sudah beratus bahkan beribu kali kujalani tanpa perasaan apapun yang membekas di kalbu, mengapa sekarang aku harus menghindar? Untuk apa? Mengapa kini muncul perasaan lain? Batinku bergulat dalam keraguan yang absurd.


Oktober 2001

“Rokok ham”
“No thanks, gw lagi males ngerokok”
kusimak sebentar raut wajah sohibku yang sepertinya agak bingung. Tapi segera ia menarik tangannya yang memegang bungkus rokok dan langsung bertanya balik.
“Ko tumben sih lo ga nerima rokok gw, kenape lo?”
“Gw lagi BT men, sohib kentel gw, si roni kemaren lewat gara-gara gituan” balasku sambil menunjuk kotak berlabel larangan pemerintah disisi sampingnya.
“Sori ham, gw baru tau”
“Bukan salah lo bro, itu emang dianya aja yang tambeng, udah gw kasi tau berkali-kali, tapi dia ga pernah mo dengerin gw sekalipun, padahal dia kan udah divonis dokter kena pneumonia akut, kalo gw si gapapa, cuma batuk-batuk kecil aja, minum obat batuk bentar juga pulih lagi, he he he” tawanya terkekeh.
“Iya ntar kalo lo batuk darah baru tau rasa lo” sambarku jengah.
“Aah itu mah masih lama brur, nyantai aja coy”
“Sotoy lo, jangan ngedahuluin tuhan, siapa tau besok jatah umur lo di dunia di privatisasi, baru nyaho lo, udah ah gw cabut dulu ya, bye jon” akupun segera berlalu meninggalkan kepulan asap dibelakangku.

Juli 2001

Hangatnya bias sinar mentari pagi merembes melalui setiap relung jendela kamarku, seorang bocah berbaju kotak-kotak hijau putih dengan peci kecil menghias kepalanya yang besar, penuh gairah menyongsong datangnya pagi, langkah kaki kecilnya yang setengah berlari, entah mengejar apa, terus bergerak dengan bersemangat, polos, suci, lembut, bagaikan selembar kain sutra yang belum terjamah tangan-tangan para pedagang, mengindahkan teriakan ibunya yang bertampang cemas yang segera bergegas menyusulnya dengan langkah cepat-cepat.

Entah sudah berapa masa aku tertidur pulas, yang kutahu sejak aku berusaha mengerjapkan mataku untuk bangun kepalaku terasa sangat berat, bahkan untuk sekadar mengangkat kepalaku akupun merasa sangat terbebani. Tak ada yang mampu kuingat dengan baik, hanya kepulan asap tanaman berdaun gerigi yang mengisi memori otakku, beserta beberapa botol cairan kekuningan transparan yang tak sadar kureguk lagi kemarin, dua hari yang lalu. Dengan gontai kuraih handphoneku, tanggal 21 Juli 2001, Astaga, berarti sudah sedari pagi kemarin aku terlelap !!!









April 2001

“Minggu ada acara nggak ham?”
“Nggak tuh, kenapa” Jawabku sambil menenggak seloci penuh cairan itu.
“Gw mo ngajakin lo pergi hangout ke puncak”
“Ok, it’s a deal, man”
“Lo emang temen terbaik gw ham, ha ha ha”
“Nevermind”
“Lo bawa bo’il lo ya ham, tar gw telpon friska, anak ekonomi itu lho”
“Buat apa?”
“Ya buat nemenin lo lah, kabarnya sih dia juga demen sama lo, kan lumayan tuh kesempatan lo selama kita di puncak, yah terserah lah lo mo ngapain, bebas aja, kan nggak ada yang ngawasin, toh gw juga bakal ngajak tari”
“Terserah lo aja, kok malah ngajak tari, jasmine, cewek lo mau dikemanain?”
“Aah gw lagi males sama dia, sok alim banget, masa gw coba sosor dia nolak, katanya belom waktunya, padahal gw yakin dia pasti mau tuh, udah lah ham, gw cuma mo have fun sama tari weekend besok, dah ya sampe besok ham, daah”

Friska, mahasiswi ekonomi yang terkenal dengan kegenitannya, pakaian dan dandanan seksi menjadi pilihan berbusananya, sepertinya ia bangga jika mata setiap lelaki mengikuti seluruh gerakan tubuhnya ketika ia berjalan, entahlah, kenapa ia harus berbangga diri? bahkan dengan para pengajar sekalipun, nilai A yang disandangnya dalam sebuah mata kuliah bahkan menjadi pembicaraan serius di kalangan anak ekonomi, ah biarkanlah, apa yang terjadi, biar terjadi besok.







Prolog

Beberapa Bulan Setelah Maret 2003

03.38 WIB

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh . . . . .

Kuakhiri pertemuanku dengan seuntai salam kepada sang maha pengasih dini hari ini. Alih-alih meraih mushaf kecilku, malam ini aku duduk terpekur dalam pekat malam, sepi tak ada secuilpun bunyi keluar dari satu makhluk hidup pada malam ini, benar-benar sunyi senyap. Anganku pun melayang kemasa laluku yang penuh debu. Kucoba buka kembali lembaran-lembaran kumuh yang penuh dengan cerita kelam. Ke masa-masa lalu yang penuh dengan geliat nafsu yang tak terkendali, menyusuri relung-relung tergelap dalam sejarah hidupku. Tak terasa mengalir dua buah kristal bening dari mataku, kemudian diikuti oleh beberapa temannya yang semakin banyak jumlahnya. Teringat sebuah ucapan singkat nan penuh dengan mutiara hikmah, ucapan yang minimal terucap lima kali dari sela-sela tenggorok kita sehari semalam, yang sampai saat ini entah mengapa belum bisa secara kaffah kujalani. Inna shalati, wanusuki, wamahyaya, wamamaati, lillahirabbil ‘alamiin . . . . . Tersungkurku dalam sujud yang panjang. Ya rabb, aku milik-Mu kini, sepenuhnya dan seutuhnya.


Bekasi, April 2006

NB : Untuk saudara-saudariku di jalan dakwah yang sering merasa terlambat untuk
berhijrah, yang sering merasa lelah dalam berdakwah, mari kembali ke jalan yang
penuh cinta ini, moga sejumput asa bisa kembali tertumbuh, bergeraklah ! mari kita
bangun dan lalui jalan yang penuh dengan onak dan duri ini bersama, sekali lagi,
bergeraklah ! karena diam berarti mati! love you all because of Allah.

Pertemuan Yang Tertunda (sebuah cerpen)

Pertemuan Yang Tertunda
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Malam kian larut, namun kota jakarta nampaknya belum berniat untuk berhenti berdenyut, setelah sang surya sehari penuh menjalankan tugas rutinnya dan kini telah terlelap, tidak begitu dengan manusia Jakarta yang sibuk, siang boleh berganti malam, namun kota jakarta harus tetap berdenyut, mungkin begitu pikiran mereka.
Rinai rintik hujan terus membasahi aspal Jakarta, saat itulah kudengar teriakan halus yang memaksa mengurangi laju motorku, akupun segera menuju kearah sumber suara tersebut. Dua setengah menit kemudian motorku kembali menggerung.



“Ya, belokan kedua belok kanan ya bang”
“Belokan kedua belok kanan” beoku

Motor tuaku pun melaju membelok pada tikungan yang dituju

“Rumah pagar biru bang”

Tepat tiga meter setelah ucapan itu akupun berhenti didepan rumah bercat biru yang terkesan seperti istana, megah namun sangat kontras dengan keadaan sekitarnya, sedikit terkesan angkuh.

“Berapa bang?” Tanyanya dengan wajah tersenyum manis
“Tiga ribu” Jawabku pendek

Ia langsung membuka dompetnya dan menyodorkan uang plastik berwarna merah bergambar orang berkacamata.

“Waduh maaf neng, tapi kembaliannya nggak ada”

Ia pun segera merogoh kantong celana jeansnya, mencoba mengeluarkan setiap sen uang yang terdapat didalamnya. Sementara rintik hujan mulai jinak.

“Yah, saya cuma punya dua ribu tujuh ratus lima puluh aja bang, saya nggak biasa bawa uang recahan sih, trus gimana nih?” Sahutnya
“Ya udah deh neng nggak apa-apa” jawabku
“Oya nih ada tambahan, buat abang aja semuanya” Serunya sambil lagi-lagi tersenyum manis dan menyerahkan ‘tambahan’ tadi ketangan kananku, wajah yang jelita, namun entah kenapa aku dapat melihat kabut dibalik mata indah itu.

“Makasih ya bang”
“Sama-sama neng”

Sosoknya kemudian segera menghilang dibalik pagar kekar bercat biru muda. Kupandangi pagar itu. Perbandingan yang amat tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Empat detik kemudian aku tersadar, “‘Tambahan’? mungkin bisa untuk menambah penghasilanku selama sehari ini, meskipun hanya beberapa ratus rupiah” harapku.

Kubuka tangan kananku, kupandangi ‘tambahan ‘ itu, kubaca tulisan yang tertera pada pembalutnya, “Tuti-Fruity”, aku pun tersenyum, segera kumasukkan sebuah ‘tambahan’ tadi kedalam mulutku setelah menyingkirkan pembalutnya dan menyimpan lima sisanya didalam kantungku.

“Lumayan, untuk anakku dirumah” batinku.

Dan akupun berlalu.


.
“Hexos-hexos, permen penyegar dan pelega tenggorokan, kami tawarkan cukup dengan seribu rupiah saja” kata seorang pedangang.
“Tahu isinya, bu, enak, gurih, renyah, dijamin kenyang deh, murah bu, murah, ya yang laper silahkan beli, ada juga anggurnya lho bu, pak, Anggur? Tahu bu?” cerocos pedagang lainnya.
“Koran, koran, pos kota, lampu merah, bola, tempo, republika, kompas, semua ada, ya pak, cari apa? Bola? Empat ribu lima ratus aja pak, makasih ya pak” seorang remaja tanggung berteriak lantang menawarkan dagangannya. Matanya berbinar ketika mendapatkan seorang pelanggan.

Aku menunggu giliranku, ketika bus sudah hendak beranjak dari tempatnya beristirahat sejenak, akupun segera maju ke bagian depan bus.

“Ya bapak-bapak, ibu-ibu semua, mohon maaf jika saya mengganggu perjalanan bapak-ibu semua, bukan maksud saya ingin mengganggu, saya hanya mencoba mencari rizki yang masih halal untuk saya, daripada saya nyolong, ya nggak?” teriakku lantang disertai senyum yang ikhlas..
“Oke, lagu pertama dari koes plus, buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang tahu dan punya kenangan bersama lagu ini, boleh kok nyanyi bareng sama saya, he he he, okeh kita mulai aja ya, ini dia bunga di tepi jalan” lanjutku.

Kupetik gitar tuaku yang masih menyisakan sisa-sisa kebeningan nadanya. Dan mengalunlah lagu pertamaku dengan lancar sampai selesai.

“Ya itulah lagu pertama saya, moga-moga dapat menghibur anda, langsung saja, lagu kedua dari saya, ching ai dari raihan” kataku sambil melongok kelua jendela bus, “Wah sudah sampai hampir masuk tol, berarti waktuku bernyanyi tinggal dua lagu lagi” bisikku dalam nurani.

Kemudian lagu kedua pun mengalun lancar bagaikan air

“Timur, timur, ya yang turun, ati-ati, pelan-pelan, ayo bu, awas ati-ati” teriakan sang kondektur mengiringi akhir laguku, lalu setelah pidato singkatku, aku merogah kantong belakang jeansku dan mengambil bungkus permen yang kemudian kuarahkan ke para penumpang yang masih tersisa.

“Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf sekali lagi kalau saya mengganggu, semoga amal ibadah bapak, ibu sekalian diterima oleh tuhan yang maha esa, sekian dari saya, terimakasih”

Kuturunkan kakiku dan melangkah menuju trotoar jalan. Kutengadahkan kepalaku kuarahkan padangku ke bola merah raksasa yang hampir tenggelam dan mulai meredup, menyisakan garis panjang kemerahan yang menghias cakrawala. Ah ternyata salah satu episode senja di ibukota telah berlalu, digantikan munculnya sang malam nan menyejukkan hati.

Tiba-tiba raungan klakson menyeretku kembali ke aspal dan memkasaku melompat kesamping.bergulingan di trotoar yang penuh debu.

“Woi minggir, mo nyari mati ya?” teriak sang bapak garang dari dalam kaca mobil yang setengah terbuka.
“Ah ternyata senja di ibukota masih menyimpan sedikit episode penutupnya” desahku dalam hati.


Siang itu matahari bersinar sangat cerah, berkas-berkas sinar panas berhasil meloloskan diri dari celah-celah dedaunan pohon yang jarang, seorang mahasiswa yang kepanasan mencari perlindungan di bawahnya, kebetulan sekali didekatnya apa penjual minuman dingin yang segar, segera ia merogoh saku celananya kemudia membayar sebotol minunan dingin nan sejuk.

Hanya dalam tempo waktu yang singkat botol itu telah berpindah tangan kembali ke tangan sang penjual minuman dingin, namun kali ini seluruh isinya telah berpindah ke perut sang mahasiswa. Tak lama kemudian bus kota yang ditunggunya datang, tanpa ragu dilangkahkan kakinya menaiki bus kota yang berdebu. Sesok tubuh kemudian masuk menyusul langkah mahasiswa tersebut kedalam bus kota.


“Berapa pak?”
“Lima ribu dik”

Remaja itupun membuka dompet kecil merah jambu bergambar karakter kartun klasik, Mickey Mouse yang sedang memakai tuxedo hitamnya lalu merogoh kedalamnya, hendak mengambil selembar uang lima ribuan nampaknya..

“Ini bang, makasih ya” sahutnya seraya mengulurkan lembaran uang lima ribuan
“Oya makasih juga ya dik” jawabku

Remaja itupun segera bergegas kearah pintu masuk sebuah mall yang cukup terkenal di bilangan jakarta. Kupandangi sejenak penampilan remaja itu, kaus ketat masa kini yang agak transparan, lalu dengan rok mini yang sama ketatnya, menampilkan banyak dari lekuk tubuh yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik umum. Belum lagi parfum dengan aroma yang meracuni hidung. Dari penampilannya kemungkinan ia akan bertemu dengan kekasihnya disini.

Rupanya zaman sudah mulai bergeser, perilaku masyarakat kini kurasa semakin menjauh dari nilai-nilai luhur bangsa ini dulu, bahkan gaya berbusana yang dulu dianggap tabu kini mulai marak menjadikan tubuh-tubuh wanita sebagai komoditi utama konsumsi publik. Apa memang menjadi modern harus seperti ini? Apakah dengan alasan modernisasi semua adat-istiadat dan aturan luhur bangsa ini harus diganti? Pertanyaan yang tak terjawab itu kutelan bulat-bulat dan kusimpan dalam relung hatiku yang terdalam. Biarlah, toh semua itu bukan urusanku, kenapa juga aku yang harus merecokinya.

Kupandangi kadaan sekitar, “Huh, siang ini panas sekali” rutukku, udara seperti ini membuat seluruh energiku bagai terkuras habis sampai ke dasarnya, entah mengapa cuaca akhir-akhir ini seringkali berganti dengan cepat, bukan hanya itu, sekali waktu cuaca sangat panas terik menyenget kulit, namun keesokan harinya cuaca bisa dengan drastis berubah kembali menjadi agak mendung, bahkan tak jarang hujan deras mengguyur dengan hebatnya. Hari ini aku agak tak enak badan sebenarnya, tapi mau tak mau aku harus bekerja, susu anakku jauh lebih penting dari apapaun saat ini. Bayang wajah polos putraku ternyata berhasil mengisi ulang seluruh energiku ke level tertinggi, kulajukan motor pinjamanku menuju arah cawang.


“Cawang kiri bang !” teriak seorang ibu muda.

Supir bus kota pun segera menepikan bisya ke kiri untuk menurunkan penumpangnya, aku juga segera bersiap setelah kemasukkan kantong berisi recehan ke kantong belakang celanaku. Penumpang yang berjubal turun dari tangga, berdesak-desakkan seperi biasa, seorang nenek tua yang hendak bangkit dari duduknya nampak ragu, kemudian kembali duduk, mengurungkan niatnya karena melihat tumpukan orang yang berdesak-desakkan di ointu keluar, “nanti sajalah” mungkin itu yang ada dipikirannya.
Ciri ini nampak umum aku temui pada masyarakat jakarta yang selalu tergesa, namun entah mengapa tak bisa bersikap tertib. Semua orang ingin duluan, tak jarang ada ibu yang terinjak kakinya, atau tersenggol badannya. Kuurungkan niatku untuk turun kutunggui nenek tua itu, kemudaia setelah semua orang turun akupun segera menggandeng tangan nenek tua itu untuk kemudian kutuntun turun dari bus kota.


Baru saja kaki sang nenek menyentuh aspal, tiba-tiba
“Ckiiiiittt”
“Aaaaahhh”
“Awas neeeeek” refleks kudorong tubuh sang nenek, kulihat ia terjatuh di trotoar, namun beruntung, jatuhnya tertahan oleh tas yang dibawanya sehingga menghindarkannya dari cedera yang serius.
Motor yang berdecit-decit itupun akhirnya berhenti beberapa meter setelah tempat sang nenek jatuh, pengemudinya turun dan segera memarkirkan motornya disisi jalan.

“Nenek gapapa?” tanyaku khwatir sambil memapah tubuh ringkin itu
“Ya, nenek gapapa” sahutnya masih shock
“Ada yang luka nek?”
“Nggak nak, nenek baik-baik aja, terimakasih banyak nak”
“Nenek, nenek gapapa nek” tanya sang pengemudi motor cemas.
Rupanya ia kembali ketempat sang nenek jatuh untuk menengok keadaannya.
“Ya nenek, gapapa kok, nenek baik” sahut sang nenek.
Dengan penuh amarah kucekal leher baju sang pengemudi yang masih memakai helm tersebut.
“Lo nggak punya mata ya? Lo nggak liat nih nenek hampir aja lo tabrak!” corocosku dengan nada yang tinggi
“Lo kalo jalan yang bener ya? Pake tuh otak lo, jangan mentang-mentang lo naik motor lo bisa seenaknya aja ngebut!.Pake tuh mata!” lanjutku panas.
“Oke, oke sori, gw salah” katanya
“Salah, salah, gampang banget lo ngomong kaya gitu?” lalu kuhempaskan tubuh pemuda itui ke trotoar, ia jatuh terduduk, kemudian kulemparkan gitarku kesampingnya.
“Iya gue ngaku salah, gw tadi meleng, sori” sahutnya sambil berusaha membuka helmnya.
“Makanya lo harus . . . .” kata-kataku berhenti dan amarahku serasa tersedot habis ketika pemuda itu membuka seluruh helmnya
“Tiro ???” tanyaku
“Herman ???” jawabnya
“Kamu betul-betul Tiro ???” tanyaku heran
Kubantu pemuda itu berdiri, lalu kupeluk erat tubuh pemuda itu.

“Tiro, syukurlah !!! kamu selamat !!!”

Tak terasa bulir-bulir air bening dari sela-sela mataku mengalir turun membasahi jaket pengemudi itu.


Epilog

Pagi hari yang cerah, seperti biasanya seusai bangun pagi, aku mulai bersiap untuk menanti datangnya pagi nan cerah, hari ini aku berencana akan berkunjung kerumah teman karibku untuk bersilaturahmi, kami akan pergi bersama ke pantai, kebetulan sekali ia tinggal dekat pantai.
Kususuri jalan setapak yang menuju kearah rumahnya, beberapa masa kemudian mulai terlihat atap rumahnya, kupercepat langkah kakiku, tapi tiba-tiba kulihat pemandangan yang agak aneh, ombak pantai yang biasanya ramah, tampaknya kini mulai mengganas.
Lalu bumi bergetar dengan keras, kemudian barisan orang keluar dari rumahnya masing-masing dengan panik, kulihat sosok teman karibku dan istrinya yang juga berlari bersamanya. Kupanggil dia, tapi dia membalas dengan seruan “Lariiii” Saat kualihkan pandangku kearah pantai pantai, ombak setinggi beberapa puluh meter tampak datang dengan cepat kearah kami. Akupun segera berlari menyusul temanku, ombak makin mendekat dengan kecepatan luar biasa, buihnya yang putih bercampur dengan tanah dan lumpur hitam pekat yang entah datang darimana, karena terlalu tergesa, tak terasa kakiku terantuk akar pohon yang mencuat keluar dari tanah, akupun terjerembab menyentuh tanah
Kubalik badanku untuk melihat ombak raksasa yang siap menelan apapun yang dilewatinya. Kudengar teriakan cemas temanku itu, tapi kemudian segalanya menjadi gelap, sangat gelap.


Bekasi, Agustus 2006

NB : Untuk semua korban bencana dimanapun kalian berada, tabahlah wahai sahabat,
kami semua akan selalu bersamamu . . .

Hibernasi (sebuah cerpen)

Hibernasi
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
Dari tempat kebersandar seiring lantun kereta
Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah
Menbuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna

Seuntai lagu dari sebuah grup band yang aku ingin sekali bisa bersikap seperti nama grup itu, ketika kita makin berisi dengan ilmu dan umur kita, maka kita akan makin tunduk menyentuh tanah, apa aku bisa ya? Lagu itu menemani aku menyusuri perjalananku menuju tasikmalaya, kenapa bisa pas sekali ya? Ah entahlah, toh semua itu sudah ada yang mengaturnya. Senyumku mengembang ketika anganku melayang, ia pasti kaget saat mengetahui aku berada di tasikmalaya.


Ketukan pintu bergema ketika pintu kayu itu diketuk dari luar. Ketukan itu memaksuku menghentikan goresan kuasku pada lukisan setengah-jadi lereng kaki galunggung yang berada di depanku. Dengan malas kubuka pintu kamarku. Seorang wanita paruh baya dengan senyum terkembang muncul di depan pintu. Ia mbok pasmi, seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia pada keluarga ini, sudah bertahun-tahun ia mengabdi pada keluarga ini. Keluarga ini pun telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga, bukan lagi yang sebagai pembantu rumah tangga.

“Maaf den gun, ada tamu nunggu aden dibawah” katanya dengan ibu jari yang menunjuk kearah tangga menuju lantai bawah. Khas sekali ciri masyarakat jawa yang masih memegang adat.
“Aduh, mbok pasmi ini, kan udah aku bilangin, kalo manggil nggak usah pake den didepannya” jawabku tanpa bernada tinggi dalam kandungan suaraku.
“Maaf den, eh gun, udah kebiasaan” Ia mengurangi kta den ketika melihat tatapan mata ku yang berubah, aku tersenyum kecil.
“Kalo mbok pasmi mau panggil aku nak aja, gimana?”
“Inggih den, eh nak gun” aku kembali tersenyum simpul karenanya
“Itu tamunya sudah menunggu, nanti kelamaan nunggu kan ndak enak” lanjutnya
“Oke mbok, tolong bilangin sama dia aku turun sebentar lagi”
“oh, yo wis, nanti aku sampaikan, mongo nak gun” pamitnya
“Ya, mbok”

Kututup kembali pintu kayu itu, bergegas kubereskan peralatan lukisku, lalu menutup lukisan setengah-jadiku dengan kain. Tiba-tiba terdengar derit pintu kaayu yang terbuka kedalam.

“Wah, wah, ternyata Da Vinci kita rupanya sedang membuat salah satu mahakarya baru ya?”

Refleks ku palingkan wajahku menuju arah sumber suara. Pintu kau itu pun semakin terbuka lebar dengan gemulainya. Sesosok sosok tak asing memasuki ruangan. Dengan langkah yakin dan pasti namun ringan tanpa beban. Sosok tegap, dengan wajah ramah muncul.

“Ardi? Ngapain kamu disini?” tanyaku penuh ekspresi kaget
“Gunawan Suryadipraja, apa kabar?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Baik, ngapain kamu disini?” ulangku.
“Iseng aja kok gun, well, ini lukisan oke juga, dapat ide darimana?” tanyanya lagi setelah memandang lukisan seorang anak gembala sedang menaiki kerbaunya, ditengah hamparan sawah yang sedang diolah, wajahnya ceria dengan senyum yang polos, sementara tangannya memegang seruling bambu. Seorang lainnya sedang berlarian dikejauhan, membawa layang-layang yang mungkin sekali baru didapatkannya entah darimana. Berlatarkan galunggung nan masyhur itu.

“Nggak dari mana-mana, ada apa ar?”

Tiba-tiba sesosok wanita muncul di depan pintu kamarku. Mbok pasmi.

“Maaf nak ini tamunya, tadi pas aku minta tunggu dia malah langsung naik keatas”
“Ooh, ya sudah mbok, nggak apa-apa, mbok kembali saja bekerja”
“Inggih nak” pamitnya seraya mengangsurkan diri ke lantai bawah. Tatapanku kembali teralih ke sosok ardi.
“Ngapain kamu disini ar? Tau dari mana alamat ini” ulangku.
“Aku tau dari salah satu sumber yang bisa dipercaya, kebetulan ibu kamu keceplosan sebut tempat ini, ya udah aku langsung korek lebih lanjut” katanya sambil menurunkan tas ransel dari bahunya.
“Dasar wartawan” jawabku seraya melanjutkan beres-beresku.
“Udah lama ya gun kita nggak ketemu, terakhir sejak kuliah tingkat akhir ya gun?” tanyanya sambil memandang ke arah luar jendela kamarku.
“Iya ar, habis itu kamu langsung kerja ya kalo aku nggak salah”
“Aku langsung dapat lamaran di sebuah surat kabar nasional, mereka lihat aku cukup kompeten dalam bidang ini, karena aku bekas aktivis katanya, kamu sendiri gimana gun? Selesai kuliah langsung hilang gitu aja?”
“Aku disini gun, menyepi dari kehidupan kota nan ramai, akua menjadi seorang peneliti disini, membantu para petani yang membutuhkan bantuan sedikit ilmu pertanian”
“Itu ciri khasmu gun, tak pernah tenang lihat orang butuh bantuan, ngomong-ngomong kamu nggak nulis lagi?” tanyanya.penuh selidik

“Permisi nak gun, ini minumannya, silahkan dinikmati, mungkin nak ardi haus”

Lagi-lagi kami berdua dikagetkan oleh kemunculan mbok pasmi yang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

“Oh, ya mbok, terimakasih” kata ardi.
“Inggih nak, aku permisi, mari” katanya seraya berjalan keluar menurini tangga sambil mengepit nampan kayunya.

“Ya mbok, makasih” kataku.
“Gun, kamu belum jawab pertanyaanku tadi, kenapa kamu ga nulis lagi?” tanyanya..
“Aku capek nulis, ar, aku mau hidup tenang disini” jawabku yang sebelumnya disertai desahan nafas penuh beban. Ardi duduk dan menyeruput tehnya yang masih mengeluarkan uap panas.

“Wah, wah, kamu berubah gun, kemana gun yang dulu dikenal sebagai penulis handal, yang banyak cerpennya meraih penghargaan, yang banyak artikelnya ditulis di koran-koran nasional, tentang pemerintah yang bobrok dan segala macam lainnya” sambarnya cepat dengan nada yang tinggi.
“Aku capek nulis ar, aku capek terus-terusan diancam oleh telepon-telepon misterius, aku betul-betul capek ar” jawabku pasrah. Ardi menggelengkan kepalanya.
“Nggak gun, kamu nggak boleh seperti ini, kamu pikir kenapa aku menjadi seorang wartawan?” Aku menggeleng. “Aku terobsesi karena kamu gun!” kata ardi masih dengan nada tinggi
“Aku ingin jadi seperti kamu yang dulu gun, karena aku nggak bisa berjuang langsung, makanya aku ingin minimal berjuang dengan pena” lanjutnya.
“Aku rasa peran aku sebagai penulis sudah cukup ar, cukup sampai disini saja” jawabku. Ardi kini berdiri berjalan mengitari ruangan. Ia mendengus melecehkan.
“Kamu benar-benar sudah berubah, banyak sekali gun” katanya.
“Dimana kamu yang dulu kukenal, kamu yang dulu mengajari aku supaya tidak pernah lelah dalam menulis, memberi masukan pada pemerintah yang lambat dan irresponsif, meskipun kita tak bisa ikut demo secara langsung, kamu yang dulu dimataku bersinar sebagai seorang pejuang pena yang gilang gemilang, gosip yang aku dengar jabatan pimpinan peneliti yang kau emban sekarang adalah pemberian seorang pejabat?”

Aku menunduk lemas, “Rasanya tak ada yang bisa kusembunyikan darimu, ar” jawabku lemah.
“Apa berarti gosip itu benar? Ceritakan padaku gun, apa yang kau lakukan setelah kuliah” kata ardi penuh amarah.
“Ceritanya panjang, ar”
“Aku tak mau peduli, kau ceritakan semuanya, dan jangan ada satu hal pun yang kau tutupi, aku mau tau yang sebenarnya gun”
“Tapi ar . . . . aku . . . aku . . . ” jawabku lirih
“Aku nggak peduli apapun gun! atau kau sudah tak percaya lagi denganku” jawabnya ketus. Aku menarik dan menghembuskan nafas penuh beban.
“Baiklah ar, kalau itu maumu” jawabku.


“Enam bulan sebelum selesai kuliah ibuku jatuh sakit, dia didiagnosis menderita penyakit unik, penyakit itu menyerang otot-otot kakinya, yang menyebabkan dia lumpuh dari pinggang kebawah, kamu tahu kemana arah pembicaraanku ar?”

Ardi menggeleng, “Teruskan gun” katanya.
“Dokter bilang ibu butuh perawatan yang intens, dan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit ar, kamu tahu kan keluargaku adalah keluarga yang sederhana, gaji bapakku hanya cukup untuk nafkah sebulan, namun kini ibu membutuhkan biaya besar untuk perawatannya”
“Ya lalu apa hubungannya dengan kamu yang menghilang” tanyanya tak sabar.
“Artikel terakhirku tentang seorang pejabat teras sebuah instansi yang bergerak di bidang ketahanan pangan nasional yang diduga keras menggelapkan dana impor beras dan cadangan beras nasional, kamu ingat?”
“Ya, sebuah artikel yang sempat menimbulkan kehebohan di media massa nasional”
“Kamu betul, dia mendatangiku langsung ar, langsung kerumahku” kataku dengan nada penuh tekanan pada kata-kata terakhirku.
“Lalu?”
“Dia ternyata tahu aku sedang membutuhkan dana untuk pengobatan ibuku”
“Itu menunjukkan dia punya jaringan yang luas terhadap siapapun yang dia kehendaki” potong ardi.
“Teruskan” lanjutnya.
“Lagi-lagi kamu betul, dia menawariku biaya total perawatan ibuku sampai sembuh, dia juga menawarkan akses penelitian untuk skripsiku di lembaganya”
“Sepertinya dia seorang pejabat besar ya gun?” potongnya lagi.
“Betul ar, namun bukan hanya itu, dia juga menjamin karirku sebagai pimpinan peneliti pertanian di tasikmalaya, seusai aku menyelesaikan studiku”
“Hmm, menarik, dan penukarnya adalah?”
“Kamu tahu ar, kondisiku saat itu sedang benar-benar terjepit, aku bahkan belum dapat dana untuk membayar biaya skripsiku”
“Kemudian? Apa biaya penukarnya” ujarnya tak sabar.
“Kamu mungkin sudah menduganya ar, aku disuruh menarik artikelku dengan memberikan artikel lain yang menunjukkan bahwa data yang aku punya tidak valid dan akan mementahkan asumsi masyarakat”
“Tapi masyarakat tidak akan percaya gun! Bukankah kamu yang telah menulis artikel tentang kebobrokan itu? Masa kamu juga yang menulis artikel yang kontra dengannya?” cetusnya ketus.
“Tidak, ar, hanya ide tulisan saja dari aku, nanti mereka tinggal mengganti penulisnya, dengan demikian mereka telah mengeliminir kemungkinan bahwa aku yang membuatnya”.
Ardi bertepuk tangan dengan senyum sinis.

“Benar-benar hebat gun, selamat! Kamu telah menipu masyarakat kita yang mengharapkan kita menjadi seorang lentera! tapi kamu? Kamu tak ubahnya kain pel yang menutupi lentera redup, gun!” dengus ardi sinis.
“Maafkan aku ar . . . aku . . . aku . . . terpaksa” sesalku.
“Simpan saja maafmu, pengkhianat!” potong ardi penuh amarah.

Kini ia berdiri memandang luar ruangan dari jendelaku. Aku ikut berdiri, sambil berjalan kearahnya.

“Apa yang bisa kulakukan ar? Aku butuh solusi saat itu, dan kupikir tawaran darinya cukup untuk mengatasi masalahku”

Ardi berbalik badan, kini kami berhadapan, matanya nyalang, penuh murka yang menggelegak, bagai api yang hendak menyambar apapun didekatnya.

“Solusi? Kau butuh solusi saat itu, heh!”. Katanya. Aku mengangguk dan menunduk.
“Bullshit gun! berbulan-bulan kau coba kuhubungi tapi tak ada jawabmu! apa dengan memutuskan komunikasi itu salah satu solusi terbaikmu? Heh!” Ia mencengkeram kerah bajuku dan menunjuk-nunjuk dadaku dengan telunjuknya, lalu kembali balikkan badan pandangi galunggung yang mungkin bisa redakan marahnya. Aku kembali duduk, dengan kepala menunduk pasrah.

“Aku tak tahu harus berbuat apa ar, semua pihak menekanku! Aku lelah . . . benar-benar lelah sekali . . .”jawabku masih sambil menunduk dengan tangan menutupi wajahku.

“Padahal kau tahu aku pasti bisa membantumu gun, aku bisa carikan kau dana untuk ibumu, kau harusnya tahu itu, sudah berapa lama kita berteman, heh!” katanya dengan pandang yang masih melekat pada kaki galunggung.
“Aku tak mau menyusahkanmu ar, sudah cukup selama ini aku merepotkanmu” jawabku lemah.

“A friend in need is a friend indeed” sahutnya tiba-tiba.
“Kamu masih ragu dengan ucapan barusan? Kamu masih ragu teman seperti apa aku ini, gun?” katanya, aku hanya dapat menggeleng lemah.
“Aku tak pernah meragukanmu, ar, tak kan pernah, kau sudah terlalu banyak membantuku, aku sudah terlalu banyak berhutang padamu”

Ardi mengangguk sinis, mengejek. “Bagus kalau kau sadar” katanya. Ia lalu kembali duduk didepanku, menyeruput tehnya yang mulai dingin. Sepertinya sudah agak tenang.

“Lalu kenapa tak kau lakukan hal itu kemarin dulu?” tanyanya.
“Aku minta maaf ar, aku mengaku salah, aku terlalu ceroboh mengambil keputusan”
“Baik, aku terima maafmu” sahutnya. Aku tersenyum kecil.
“Tapi ada syaratnya, gun” potongya cepat.

Ekspresi mukaku yang mulai cerah berubah menjadi ekspresi penuh kebingungan. Ardi kembali berdiri

“Syaratnya, kamu harus mau kembali ke dunia tulis-menulis” katanya.
“Dunia ini butuh kamu gun, banyak sekali orang yang akan menunggu karya-karyamu, entah apa itu puisi, cerpen, dan lainnya” sambungnya.
“Banyak sekali penulis di negeri ini gun, tapi kesemuanya adalah pribadi yang unik, berbeda satu dengan lainnya” lanjutnya.

Aku hanya bisa memandanginya, mencoba menjadi pendengar yang baik, sama sekali tak bermaksud memotong pembicaraannya, walau sepatah kata. Ardi masih berdiri, kini dengan ekspresi muka serius.

“Dan tiap orang akan memberikan warna tersendiri dalam dunia ini”
“Entah itu kuning, merah, bahkan hitam dan abu-abu”
“Dan perbedaan itulah yang membuat jagad raya ini menjadi lebih indah”
“Seperti kulit yang punya pigmen dengan kadar tertentu yang unik”
“Atau seperti sidik jari yang tak pernah ditemui kesamaannya pada tiap-tiap manusia yang lahir ke dunia ini”
“Tak ada yang pernah diciptakan untuk sia-sia, gun, tak akan pernah ada!”
Ardi berkata-kata dengan penuh penghayatan dalam yang baru kali ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

“Semua pasti ada gunanya, gun”
“Dan segala sesuatu akan terus bergerak sampai akhir zaman”
“Salah besar jika kamu berpikir perjalanan dan peranmu hanya cukup sampai kamu selesai kuliah saja” cerocosnya tanpa henti.

Selesai bicara ia kembali duduk dan menyeruput sisa tehnya hingga tandas. Aku terpesona dengan kata-katanya, sejak kapan ia jadi begitu mahir berkata-kata, atau aku yang selama ini terlalu membatasi diriku? Aku tersenyum kecil.

“Jujur ar, aku sebenarnya kangen dengan dunia itu” kataku. Kuseruput tehku yang sejak tadi sudah tak lagi panas.
“Kembalilah gun, gerbang itu masih terbuka lebar untukmu” jawab ardi.

Aku kembali tersenyum simpul, namun eksprseiku yang cerah kembali padam, senyumku hilang berganti pandangan dan ekspresi putus asa. Ardi yang memperhatikan menjadi agak heran dengan perubahan wajahku yang drastis itu.

“Tapi bagaimana dengan ibu, ar? Ia belum seratus persen sembuh” sahutku penuh nada kekhawatiran. Ardi tersenyum, kali ini dengan senyum yang tulus.
“Aku bisa tangani itu, yah kebetulan, aku punya beberapa teman fisioterapis, mereka akan bantu kamu” sahutnya riang.
“Tentu saja dengan biaya yang gratis, karena mereka baru saja lulus, yah hitung-hitung sebagai lahan praktek langsung mereka” sambungnya dengan penekanan pada kata-kata pertamanya. Wajahku kembali cerah beberapa saat, namun kembali cerah itu hilang. Ardi bertambah heran dengan perubahanku yang kedua kali.
“Bagaimana dengan biaya yang selama ini telah dikeluarkan oleh pejabat itu, aku pasti disuruh menggantinya, masalah pekerjaanku yang akan hilang dengan kaburnya aku ke jakarta, belum lagi keamanan aku dan ibuku yang akan terancam” jawabku cemas.

“Tenang, aku punya kenalan link dengan polisi, ia takkan berani macam-macam, kalau soal kerjaan, nanti akan kurekomendasikan kau ke surat kabar tempatku bekerja, lagipula sepertinya mereka sedang butuh seorang kolumnis, kalau soal yang lain kau tak perlu khawatir, apalagi kau bisa saja membuka rahasia mereka kapanpun, bukan?” katanya dengan senyum yang terus terkembang.
“Tapi aku masih cemas, ar” jawabku. Pandangan ardi kembali menerawang, lalu ia berkata.
“Ada kekuatan maha dahsyat yang mengendalikan jagad raya ini, kalau Dia sudah berkehendak, maka tak ada yang tak mungkin, gun, apa kau sudah tak lagi percaya dengan kekuasaan-Nya, gun?” sahutnya tiba-tiba. Aku terpekur lama. Mencoba meresapi setiap huruf yang keluar dari bibirnya tadi.

Aku kini bisa tersenyum lepas. Ardi menyodorkan tangannya.

“Bagaimana? Kita sepakat?” tanyanya cepat.
“Ah, entahlah, aku perlu banyak waktu untuk berpikir, ar” jawabku singkat.

Ardi menarik tangannya, ekspresinya kecewa.

“Ah, terserahlah gun, aku jadi capek sendiri” Ia lalu melirik jam tangan digitalnya.
“Okelah gun, aku pulang dulu ya, sepertinya waktuku sudah habis disini” katanya sambil menyampirkan kembali tas ransel di bahunya.
“Kok, buru-buru?” tanyaku heran.
“Yah, aku harus meliput beberapa berita di tasik sini” jawabnya pasti. Aku bingung, apa ada yang harus diberitakan di kota tenang ini? Tapi kutelan rasa penasaranku.
“Okelah kalau begitu, maaf ya ar, aku butuh banyak berpikir untuk hal ini, karena hal ini bukan hanya menyangkut aku, tapi ibuku, kau tahu kan dia satu-satunya orangtua yang kupunya kini”
“Yeah, take your time, bro. Aku tahu ini merupakan keputusan yang berat bagimu” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Terimakasih, untuk semuanya ar, kedatanganmu sangat berarti bagiku” jawabku.
“No prob, aku pulang dulu, bye, assalamu’alaikum, oh ya salam buat mbok pasmi, maaf aku nggak bisa pamit lagi, aku terburu-buru” cerocosnya.
“Hati-hati di jalan, ar” kataku sambil berjabatan tangan.


Kupercepat langkah kakiku menuju peron stasiun, anganku kembali mengangkasa ke pertemuanku tadi, apakah ia akan kembali kedunianya semula? Well, kuharap kehadiranku bisa mempercepat prosesnya. Telah kukantongi tiket pulang ke Jakarta, kulangkahkan kakiku menuju peron Jakarta. Kupasang kembali headphone, seuntai lagupun mengalir menemai perjalananku pulang. Kulirik sebuah minuman dingin yang menggoda mataku, Ah rasanya aku ingin sekali menikmatinya, kurogoh kantongku untuk mengambil dompetku. Astaga kok kosong ya? Kucoba mengingat-ingat kembali. Sesaat kemudian kutepuk keningku, astaga pasti ada disana, sifat jahilnya memang tak pernah pudar oleh waktu, awas kau gun!


Kuterbangun dengan tergesa, jam 6.30. Aku pasti akan terlambat hari ini, kupercepat beberapa kali lipat segala macam kegiatanku pagi itu. Jam 7.30 aku sudah sampai di kantorku. Kuhempaskan tubuhku pada kursi tempatku bekerja. Seorang rekan kerja menegurku.

“Pagi ar, bos tadi bilang ke aku kalau dia butuh laporan tentang kunjunganmu ke tasikmalaya dua minggu lalu, segera ya!”
“Oke pak, akan aku kirim secepatnya” jawabku. Ia segera berlalu, namun beberapa langkah kemudian ia kembali ketempatku.
“Kamu udah baca koran pagi ini, ar?”
“Belum pak, ada apa ya?” kataku dengan ekspresi kebingungan.
“Kamu baca aja, ada artikel menarik di halaman 32” sahutnya cepat.

Kubuka halaman 32, mataku mencari-cari artikel yang tadi disebutkan olehnya, Hmm, ini mungkin menarik. “NASI TAK SELAMANYA LEGIT, KONSPIRASI LANGIT DIBALIK HARGA BERAS YANG MELAMBUNG TINGGI” oleh G.S.Praja. Aku tersenyum penuh arti. “Welcome back, bro!”


Bekasi, 14 April 2006

NB : Untuk semua saudara/iku yang masih berkalung dalam masa-masa hibernasi,
bangkitlah wahai saudara-saudaraku, bergeraklah! karena diam berarti mati!