varendy's blog

for those who wanted to make a truly friendship buat penulis di seluruh dunia, kenalan yuk . . .

Monday, January 29, 2007

Pertemuan Yang Tertunda (sebuah cerpen)

Pertemuan Yang Tertunda
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Malam kian larut, namun kota jakarta nampaknya belum berniat untuk berhenti berdenyut, setelah sang surya sehari penuh menjalankan tugas rutinnya dan kini telah terlelap, tidak begitu dengan manusia Jakarta yang sibuk, siang boleh berganti malam, namun kota jakarta harus tetap berdenyut, mungkin begitu pikiran mereka.
Rinai rintik hujan terus membasahi aspal Jakarta, saat itulah kudengar teriakan halus yang memaksa mengurangi laju motorku, akupun segera menuju kearah sumber suara tersebut. Dua setengah menit kemudian motorku kembali menggerung.



“Ya, belokan kedua belok kanan ya bang”
“Belokan kedua belok kanan” beoku

Motor tuaku pun melaju membelok pada tikungan yang dituju

“Rumah pagar biru bang”

Tepat tiga meter setelah ucapan itu akupun berhenti didepan rumah bercat biru yang terkesan seperti istana, megah namun sangat kontras dengan keadaan sekitarnya, sedikit terkesan angkuh.

“Berapa bang?” Tanyanya dengan wajah tersenyum manis
“Tiga ribu” Jawabku pendek

Ia langsung membuka dompetnya dan menyodorkan uang plastik berwarna merah bergambar orang berkacamata.

“Waduh maaf neng, tapi kembaliannya nggak ada”

Ia pun segera merogoh kantong celana jeansnya, mencoba mengeluarkan setiap sen uang yang terdapat didalamnya. Sementara rintik hujan mulai jinak.

“Yah, saya cuma punya dua ribu tujuh ratus lima puluh aja bang, saya nggak biasa bawa uang recahan sih, trus gimana nih?” Sahutnya
“Ya udah deh neng nggak apa-apa” jawabku
“Oya nih ada tambahan, buat abang aja semuanya” Serunya sambil lagi-lagi tersenyum manis dan menyerahkan ‘tambahan’ tadi ketangan kananku, wajah yang jelita, namun entah kenapa aku dapat melihat kabut dibalik mata indah itu.

“Makasih ya bang”
“Sama-sama neng”

Sosoknya kemudian segera menghilang dibalik pagar kekar bercat biru muda. Kupandangi pagar itu. Perbandingan yang amat tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Empat detik kemudian aku tersadar, “‘Tambahan’? mungkin bisa untuk menambah penghasilanku selama sehari ini, meskipun hanya beberapa ratus rupiah” harapku.

Kubuka tangan kananku, kupandangi ‘tambahan ‘ itu, kubaca tulisan yang tertera pada pembalutnya, “Tuti-Fruity”, aku pun tersenyum, segera kumasukkan sebuah ‘tambahan’ tadi kedalam mulutku setelah menyingkirkan pembalutnya dan menyimpan lima sisanya didalam kantungku.

“Lumayan, untuk anakku dirumah” batinku.

Dan akupun berlalu.


.
“Hexos-hexos, permen penyegar dan pelega tenggorokan, kami tawarkan cukup dengan seribu rupiah saja” kata seorang pedangang.
“Tahu isinya, bu, enak, gurih, renyah, dijamin kenyang deh, murah bu, murah, ya yang laper silahkan beli, ada juga anggurnya lho bu, pak, Anggur? Tahu bu?” cerocos pedagang lainnya.
“Koran, koran, pos kota, lampu merah, bola, tempo, republika, kompas, semua ada, ya pak, cari apa? Bola? Empat ribu lima ratus aja pak, makasih ya pak” seorang remaja tanggung berteriak lantang menawarkan dagangannya. Matanya berbinar ketika mendapatkan seorang pelanggan.

Aku menunggu giliranku, ketika bus sudah hendak beranjak dari tempatnya beristirahat sejenak, akupun segera maju ke bagian depan bus.

“Ya bapak-bapak, ibu-ibu semua, mohon maaf jika saya mengganggu perjalanan bapak-ibu semua, bukan maksud saya ingin mengganggu, saya hanya mencoba mencari rizki yang masih halal untuk saya, daripada saya nyolong, ya nggak?” teriakku lantang disertai senyum yang ikhlas..
“Oke, lagu pertama dari koes plus, buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang tahu dan punya kenangan bersama lagu ini, boleh kok nyanyi bareng sama saya, he he he, okeh kita mulai aja ya, ini dia bunga di tepi jalan” lanjutku.

Kupetik gitar tuaku yang masih menyisakan sisa-sisa kebeningan nadanya. Dan mengalunlah lagu pertamaku dengan lancar sampai selesai.

“Ya itulah lagu pertama saya, moga-moga dapat menghibur anda, langsung saja, lagu kedua dari saya, ching ai dari raihan” kataku sambil melongok kelua jendela bus, “Wah sudah sampai hampir masuk tol, berarti waktuku bernyanyi tinggal dua lagu lagi” bisikku dalam nurani.

Kemudian lagu kedua pun mengalun lancar bagaikan air

“Timur, timur, ya yang turun, ati-ati, pelan-pelan, ayo bu, awas ati-ati” teriakan sang kondektur mengiringi akhir laguku, lalu setelah pidato singkatku, aku merogah kantong belakang jeansku dan mengambil bungkus permen yang kemudian kuarahkan ke para penumpang yang masih tersisa.

“Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf sekali lagi kalau saya mengganggu, semoga amal ibadah bapak, ibu sekalian diterima oleh tuhan yang maha esa, sekian dari saya, terimakasih”

Kuturunkan kakiku dan melangkah menuju trotoar jalan. Kutengadahkan kepalaku kuarahkan padangku ke bola merah raksasa yang hampir tenggelam dan mulai meredup, menyisakan garis panjang kemerahan yang menghias cakrawala. Ah ternyata salah satu episode senja di ibukota telah berlalu, digantikan munculnya sang malam nan menyejukkan hati.

Tiba-tiba raungan klakson menyeretku kembali ke aspal dan memkasaku melompat kesamping.bergulingan di trotoar yang penuh debu.

“Woi minggir, mo nyari mati ya?” teriak sang bapak garang dari dalam kaca mobil yang setengah terbuka.
“Ah ternyata senja di ibukota masih menyimpan sedikit episode penutupnya” desahku dalam hati.


Siang itu matahari bersinar sangat cerah, berkas-berkas sinar panas berhasil meloloskan diri dari celah-celah dedaunan pohon yang jarang, seorang mahasiswa yang kepanasan mencari perlindungan di bawahnya, kebetulan sekali didekatnya apa penjual minuman dingin yang segar, segera ia merogoh saku celananya kemudia membayar sebotol minunan dingin nan sejuk.

Hanya dalam tempo waktu yang singkat botol itu telah berpindah tangan kembali ke tangan sang penjual minuman dingin, namun kali ini seluruh isinya telah berpindah ke perut sang mahasiswa. Tak lama kemudian bus kota yang ditunggunya datang, tanpa ragu dilangkahkan kakinya menaiki bus kota yang berdebu. Sesok tubuh kemudian masuk menyusul langkah mahasiswa tersebut kedalam bus kota.


“Berapa pak?”
“Lima ribu dik”

Remaja itupun membuka dompet kecil merah jambu bergambar karakter kartun klasik, Mickey Mouse yang sedang memakai tuxedo hitamnya lalu merogoh kedalamnya, hendak mengambil selembar uang lima ribuan nampaknya..

“Ini bang, makasih ya” sahutnya seraya mengulurkan lembaran uang lima ribuan
“Oya makasih juga ya dik” jawabku

Remaja itupun segera bergegas kearah pintu masuk sebuah mall yang cukup terkenal di bilangan jakarta. Kupandangi sejenak penampilan remaja itu, kaus ketat masa kini yang agak transparan, lalu dengan rok mini yang sama ketatnya, menampilkan banyak dari lekuk tubuh yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik umum. Belum lagi parfum dengan aroma yang meracuni hidung. Dari penampilannya kemungkinan ia akan bertemu dengan kekasihnya disini.

Rupanya zaman sudah mulai bergeser, perilaku masyarakat kini kurasa semakin menjauh dari nilai-nilai luhur bangsa ini dulu, bahkan gaya berbusana yang dulu dianggap tabu kini mulai marak menjadikan tubuh-tubuh wanita sebagai komoditi utama konsumsi publik. Apa memang menjadi modern harus seperti ini? Apakah dengan alasan modernisasi semua adat-istiadat dan aturan luhur bangsa ini harus diganti? Pertanyaan yang tak terjawab itu kutelan bulat-bulat dan kusimpan dalam relung hatiku yang terdalam. Biarlah, toh semua itu bukan urusanku, kenapa juga aku yang harus merecokinya.

Kupandangi kadaan sekitar, “Huh, siang ini panas sekali” rutukku, udara seperti ini membuat seluruh energiku bagai terkuras habis sampai ke dasarnya, entah mengapa cuaca akhir-akhir ini seringkali berganti dengan cepat, bukan hanya itu, sekali waktu cuaca sangat panas terik menyenget kulit, namun keesokan harinya cuaca bisa dengan drastis berubah kembali menjadi agak mendung, bahkan tak jarang hujan deras mengguyur dengan hebatnya. Hari ini aku agak tak enak badan sebenarnya, tapi mau tak mau aku harus bekerja, susu anakku jauh lebih penting dari apapaun saat ini. Bayang wajah polos putraku ternyata berhasil mengisi ulang seluruh energiku ke level tertinggi, kulajukan motor pinjamanku menuju arah cawang.


“Cawang kiri bang !” teriak seorang ibu muda.

Supir bus kota pun segera menepikan bisya ke kiri untuk menurunkan penumpangnya, aku juga segera bersiap setelah kemasukkan kantong berisi recehan ke kantong belakang celanaku. Penumpang yang berjubal turun dari tangga, berdesak-desakkan seperi biasa, seorang nenek tua yang hendak bangkit dari duduknya nampak ragu, kemudian kembali duduk, mengurungkan niatnya karena melihat tumpukan orang yang berdesak-desakkan di ointu keluar, “nanti sajalah” mungkin itu yang ada dipikirannya.
Ciri ini nampak umum aku temui pada masyarakat jakarta yang selalu tergesa, namun entah mengapa tak bisa bersikap tertib. Semua orang ingin duluan, tak jarang ada ibu yang terinjak kakinya, atau tersenggol badannya. Kuurungkan niatku untuk turun kutunggui nenek tua itu, kemudaia setelah semua orang turun akupun segera menggandeng tangan nenek tua itu untuk kemudian kutuntun turun dari bus kota.


Baru saja kaki sang nenek menyentuh aspal, tiba-tiba
“Ckiiiiittt”
“Aaaaahhh”
“Awas neeeeek” refleks kudorong tubuh sang nenek, kulihat ia terjatuh di trotoar, namun beruntung, jatuhnya tertahan oleh tas yang dibawanya sehingga menghindarkannya dari cedera yang serius.
Motor yang berdecit-decit itupun akhirnya berhenti beberapa meter setelah tempat sang nenek jatuh, pengemudinya turun dan segera memarkirkan motornya disisi jalan.

“Nenek gapapa?” tanyaku khwatir sambil memapah tubuh ringkin itu
“Ya, nenek gapapa” sahutnya masih shock
“Ada yang luka nek?”
“Nggak nak, nenek baik-baik aja, terimakasih banyak nak”
“Nenek, nenek gapapa nek” tanya sang pengemudi motor cemas.
Rupanya ia kembali ketempat sang nenek jatuh untuk menengok keadaannya.
“Ya nenek, gapapa kok, nenek baik” sahut sang nenek.
Dengan penuh amarah kucekal leher baju sang pengemudi yang masih memakai helm tersebut.
“Lo nggak punya mata ya? Lo nggak liat nih nenek hampir aja lo tabrak!” corocosku dengan nada yang tinggi
“Lo kalo jalan yang bener ya? Pake tuh otak lo, jangan mentang-mentang lo naik motor lo bisa seenaknya aja ngebut!.Pake tuh mata!” lanjutku panas.
“Oke, oke sori, gw salah” katanya
“Salah, salah, gampang banget lo ngomong kaya gitu?” lalu kuhempaskan tubuh pemuda itui ke trotoar, ia jatuh terduduk, kemudian kulemparkan gitarku kesampingnya.
“Iya gue ngaku salah, gw tadi meleng, sori” sahutnya sambil berusaha membuka helmnya.
“Makanya lo harus . . . .” kata-kataku berhenti dan amarahku serasa tersedot habis ketika pemuda itu membuka seluruh helmnya
“Tiro ???” tanyaku
“Herman ???” jawabnya
“Kamu betul-betul Tiro ???” tanyaku heran
Kubantu pemuda itu berdiri, lalu kupeluk erat tubuh pemuda itu.

“Tiro, syukurlah !!! kamu selamat !!!”

Tak terasa bulir-bulir air bening dari sela-sela mataku mengalir turun membasahi jaket pengemudi itu.


Epilog

Pagi hari yang cerah, seperti biasanya seusai bangun pagi, aku mulai bersiap untuk menanti datangnya pagi nan cerah, hari ini aku berencana akan berkunjung kerumah teman karibku untuk bersilaturahmi, kami akan pergi bersama ke pantai, kebetulan sekali ia tinggal dekat pantai.
Kususuri jalan setapak yang menuju kearah rumahnya, beberapa masa kemudian mulai terlihat atap rumahnya, kupercepat langkah kakiku, tapi tiba-tiba kulihat pemandangan yang agak aneh, ombak pantai yang biasanya ramah, tampaknya kini mulai mengganas.
Lalu bumi bergetar dengan keras, kemudian barisan orang keluar dari rumahnya masing-masing dengan panik, kulihat sosok teman karibku dan istrinya yang juga berlari bersamanya. Kupanggil dia, tapi dia membalas dengan seruan “Lariiii” Saat kualihkan pandangku kearah pantai pantai, ombak setinggi beberapa puluh meter tampak datang dengan cepat kearah kami. Akupun segera berlari menyusul temanku, ombak makin mendekat dengan kecepatan luar biasa, buihnya yang putih bercampur dengan tanah dan lumpur hitam pekat yang entah datang darimana, karena terlalu tergesa, tak terasa kakiku terantuk akar pohon yang mencuat keluar dari tanah, akupun terjerembab menyentuh tanah
Kubalik badanku untuk melihat ombak raksasa yang siap menelan apapun yang dilewatinya. Kudengar teriakan cemas temanku itu, tapi kemudian segalanya menjadi gelap, sangat gelap.


Bekasi, Agustus 2006

NB : Untuk semua korban bencana dimanapun kalian berada, tabahlah wahai sahabat,
kami semua akan selalu bersamamu . . .

0 Comments:

Post a Comment

<< Home