varendy's blog

for those who wanted to make a truly friendship buat penulis di seluruh dunia, kenalan yuk . . .

Thursday, February 08, 2007

Tunik Tajir (ceriTa UNIK sepuTAr banJIR)

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

Jum'at, 2 Februari 2007
sore hari, semburat oranye matahari yang tersembunyi dibalik awan mendung mulai nampak di ufuk barat, menandakan akan berakhirnya hari ini. saya yang hendak pulang dari kantor pun segera bersiap turun. hari ini sepertinya akan normal, tapi alangkah terkejutnya saya, ketika saya keluar sari gedung perkantoran dan menuju ke jalan raya. terlihat antrian kendaraan yang sama sekali tak bergerak, rupanya karena tergenang banjir di ujung jalan lainnya.

segera saya menyeberang ke sisi sebelahnya dan mengambil inisiatif untuk naik kerata saja, sesampainya saya di stasiun kereta bukan keberuntungan yang saya hadapi namun kesialan justru kembali catang. kereta ditiadakan karena ada longsor di daerah rawa bebek, kranji, bekasi. dengan langkah gontai sayapun segera berjalan kaki tak tentu arah. kemudian sebuah ide muncul, mungkin masih belum terlambat untuk ikut bapak dan ibu.

bagai mendapat suntikan energi baru, sayapun bergegas mencari mobil umum kearah senen, lagi-lagi sial. mobil yang saya dapat selalu penuh sesak, sehingga saya harus menunggu lebih lama lagi, ide baru muncul, saya berjalan pelan-pelan untuk mengejar bus dari arah hulu, bukan hanya menunggu di hilir. akhirnya saya berjalan dengan perlahan, tak terasa saya kembali ketempat saya semula naik bus, yaitu tepat didepan kantor saya.

hampir empatpuluh lima menit menunggu akhirnya ada juga bus yang tidak terlalu penuh, namun masih saja sedikit sesak menurut saya, terlintas dalam pikiran saya, bahwa saya tidak akan bisa mengejar bapak kalau terus menunggu seperti ini, akhirnya saya putuskan untuk naik bus, dengan segala resikonya. benar saja suasana bus pertama kali saya masuk memang sudah agak sesak, namun sepertinya pak kondektur yang terhormat tidak peduli akan hal itu dan terus saja memasukkan penumpang kedalam bus, dengan alasan tidak ada angkutan umum karena banjir. penderitaan saya baru berakhir ketika bus memasuki terminal sensn, dengan langkah gontai saya menyusuri jalan senen untuk menuju ke kantor bapak dan pulang bersamanya.

Sabtu, 3 Februari 2007
sebuah sms masuk ke HP saya, asw.diharapkan kedatangannya pada resepsi pernikahan kami yang akan diadakan pada hari sabtu, 3 Februari 2007, pada jam 13.00-17.00, akad akan dilaksanakan pada pukul 09.00, doa dan kehadiran anda akan sangat kami nantikan. va dan zaki. tak terasa memang sudah seminggu berlalu setelah sms itu sampai. artinya hari ini saya harus menghadiri resepsi seorang teman lama itu. dalam pikiran melambung tinggi sebuah harapan sekaligus pertanyaan, kapan ya saya akan bisa menikah seperti beliau?

tepukan lembut bapak menyadarkan saya dari lamunan singkat itu, dia berencana untuk pergi keluar rumah hari ini, tanpa menyia2kan kesempatan sayapun segera mengutarakan niat saya untuk pergi ke depok menghadiri resepsi. ia setuju dan kamipun segera berangkat, seperti biasa saat kuliah dulu, motor kami naikkan mobil agar bapak tidak usah menunggu saya selesai resepsi. jam satu kami berangkat dan sampai disana jam setengah tiga.

singkat kata resepsi pun selesai dan saya bersiap pulang, dijalan saya sempat melalui beberapa sungai dan melihat betapa tinggi dan derasnya arus sungai itu. dari depok menuju taman mini belum ada hambatan yang berarti. namun ketika masuk kejalan taman mini kearah pondok gede, tiba-tiba saya disergap oleh suasana riuh, banyak sekali orang-orang berkumpul di tengah jalan. mobil-mobil angkutan umum terlihat mulai berbalik arah, begitupun mobil-mobil pribadi.

saya terus merangsek maju dengan motor, dan ketika sampai di ujungnya terlihat pemandangan yang menakjubkan. ruas jalan terpotong oleh banjir setinggi lulut orang dewasa, sepanjang sekitar beberapa ratus meter, arusnya pun deras sekali. terlihat beberapa gerobak menyebrangkan motor, gerobak sayur, atau orang untuk menuju kearah sebaliknya.

duh mau tak mau saya harus memutar balik, akhirnya saya putuskan mencari jalan lain, setelah berkonsultasi dengan beberapa warga, saya memutuskan untuk mengambil jalur memutar melewati daerah yang disarankan. sepertinya takkan ada masalah pada jalur yang saya lewati, ketika lagi-lagi ditengah jalan saya dikejutkan oleh genangan air setinggi dua puluh senti yang mencegat di depan saya, pikiran saya jadi melayang pada judul sebuah program khusus salah satu stasiun TV swasta kita, "jakarta dikepung banjir", sebuah realitas yang kini terhidang di depan mata saya.

kembali saya dihadapkan pada dua pilihan, memutar kembali, atau nekat menyebrang, sebuah keputusan yang tak mudah dan keduanya mengandung resiko, kalo nyebrang resiko motor bisa mati ditengah jalan, kalo memutar, bisa-bisa saya nyasar karena buta daerah sekitar, setelah menimbang beberapa saat akhirnya saya memutuskan untuk jalan terus alias menerobos lautan kecil itu, bismillah, gigi satu saya masukkan dan gas sengaja saya biarkan tinggi, hati saya berdebar ketika menyebrangi gengangan itu, sensasi antara takut dan senang bercampur menjadi satu. tapi nasib saya pasrahkan kepada kemampuan motor dan takdir ilahi. alhamdulillah saya berhasil menyebrang dengan selamat. setelah melalui genangan sepanjang beberapa puluh meter itu.

dengan riang saya kembali menaiki motor shogun saya, motor ini memang tua, tapi ia masih bisa diandalkan, "I owe you once, bikey" gumam saya dalam hati. ternyata keriangan saya hanya berlaku sesaat, kembali genangan air dengan dalam dan tinggi yang hampir sama menghadang, kali ini saya mengenal jalan yang akan saya lalui, itu jalur angkot K02 menuju rumah saya dibekasi.

pilihan kembali mendatangi saya, terus atau memutar? karena sudah pengalaman dan tingkat pede sedang tinggi-tingginya, akhirnya kembali saya putuskan untuk terus. kali ini, kerana sudah pengalaman tekanan dan stress tidak menghantui saya terlalu berat. terbukti saya berhasil melalui genangan itu dengan baik, yang menyebabkan saya tambah percaya dengan kemampuan motor shogun tercinta.

tapi malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diraih, entah karena kesombongan saya atau memang Sang Maha Kuasa sedang ingin menguji saya, tanpa ada pemberitahuan sebelumnya, mesin motor tiba-tiba mati, setelah saya coba cek ternyata busi basah karena kena air. mau tak mau saya harus dorong sampai bengkel terdekat.

kurang lebih satu kilometer saya mendorong motor dalam kondisi hujan lumayan lebat, di kejauhan terlihat sebuah bengkel. semangat saya terlecut untuk segera sampai kesana. setelah motor diganti oli dan busi dikeringkan dengan hembusan angin kompressor, saya kembali jalan menuju rumah tercinta. alhamdulillah kali ini tak lagi ada masalah menghadang.

Minggu, 4-Februari-2007

pagi yang cerah dan senyum di bibir merah, lho kok jadi kaya lagu, hari minggu memang waktu yang tepat untuk rileks sejenak setelah seminggu penuh bekerja, hari ini biasa saya menfaatkan untuk entertainment, dalam berbagai macam bentuknya, entah itu bermain Playstation, PC, jalan-jalan naik motor, atau bahkan dirumah seharian nonton TV dan bercengkrama dengan keluarga tercinta.

tapi tidak hari minggu ini, saya masih punya janji untuk menghadiri penyambutan anggota baru FLP bekasi, meski saya juga baru beberapa minggu lalu dilantik menjadi anggota muda, he3x. kulihat jam di dinding yang menunjukkan pukul 10 pagi. ketika saya ditegur oleh ibu, ia mengingatkan tentang kondangan seorang saudara, dan ia berharap saya hadir pula bersama-sama. sayapun mengiyakan.

jam 12.30, ketika saya dan keluarga sampai di kondangan seorang saudara. kondangannys sendiri berlangsung baik, meskipun tamu yang datang relatif sedikit, mungkin karena banjir yang masih menghadang sebagian besar wilayah bekasi. saya mulai gelisah ketika jam sudah menunjukkan pukul 13.40 namun belum ada tanda-tanda keluarga akan pulang, "bisa batal nih janji saya", batin saya waktu itu. akhirnya sepuluh menit kemudian kami pulang dan sampai dirumah dengan aman.

karena sudah merasa terlambat, begitu sampai rumah saya langsung pergi lagi naik motor, sebuah janji seharusnya tidak boleh dilanggar. sepuluh menit kemudian saya telah sampai di depan jalan menuju ke al-muhajirin. namun betapa terkejutnya saya ketika saya disambut oleh hamparan air yang menghadang jalan saya, oh boy, sepertinya janji lagi2 tak bisa ditepati.

akhirnya saya pulang kerumah, namun bukan langsung pulang, saya malah meninjau beberapa lokasi perumahan ayng terkena banjir, perum 2, perum 3, duren jaya, irigasi, dan cerewet sempat saya kunjungi, benar-benar dahsyat akibat yang ditimbulkan oleh banjir tahun ini.

Senin, 5 Februari 2007
berita di sebuah stasiun televisi, jalan raya Sudirman dan MH Thamrin tergenang banjir setinggi 20 cm, cawang masih tenggelam, sedangkan jatinegara masih setinggi lutut orang dewasa. asyik hari ini saya meliburkan diri karena banjir menggenangi seluruh ruas jalan yang akan saya lalui.

wassalam
al-fakir ad-dhaif
varendy

Friday, February 02, 2007

Mensana In Corpore Sano

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

yang namanya belajar itu seharusnya senantiasa dan selamanya, kalo pakai bahasa inggrisnya sih continous and long lasting, alias selamanya sampai akhir hayat menjelang, tapi seringkali kita terlalu disibukkan dengan urusan-urusan lain sehingga menumpulkan indra kita, panca indra kita sebenarnya ditakdirkan untuk terus bekerja dengan kekuatan yang terbaik.

otak misalnya, organ vital yang satu ini, merupakan prosesor ultra super canggih yang ditanamkan dalam tubuh manusia, bayangkan saja, dalam satuan sepersekian detik, ia harus me-manage aliran udara yang dimotori paru-paru dari dan keluar tubuh, dalam waktu yang bersamaan ia juga harus meproses aliran darah keseluruh tubuh, belum lagi tugas-tugas lainnya yang tak bisa dianggap sepele seperti koordinasi mata, hidung, telinga, kaki, tangan, dan organ lain, gerak refleks, kelembaban tubuh, suhu tubuh dan lain sebagainya. bisa dibayangkan betapa sibuknya kerja otak. kerja dan kemampuan otak biasa diukur dengan satuan nama kecerdasan intelektual (IQ).

sedang hati, pada awal penciptaannya didesain sebagai indra yang sangat sensitif dan peka. namun seringkali pergelutan kita dengan berbagai aktivitas duniawi seringkali membuatnya tidak mendapatkan asupan gizi spiritual yang cukup, ataupun seringkali jeritan hati di kudeta oleh otak, sehingga perlahan-lahan ia melemah dan bukan tak mungkin akan mati, atau dengan option lain mengeras dan membaja.

akibatnya fatal, tubuh yang hatinya mengeras, membatu ataupun mati, akan kehilangan daya komunikasi vertikalnya, sehingga kendali otak sangat mendominasi. ketika beban kerja yang berlebih melanda otak bagaikan gelombang raksasa, maka otakpun kelebihan beban (overload) sehingga kondisi tubuhpun menurun drastis karena request dari tubuh tidak bisa direspon oleh otak. kemudian muncullah penyakit-penyakit orang modern seperti stroke, asam urat, kolesteol, dsb.

tidak demikian dengan kejadiannya bila seseorang memiliki hati yang bekerja dengan baik dan sangat sensitif. ketika terjadi problem yang tak bisa diselesaikan oleh otak, maka otakpun mengopernya kepada hati, hati yang masih berfungsi akan mencoba mencari jalan keluarnya, yaitu dengan mengkombinasikan koordinasi otak yang rasional dengan hati yang lebih perasa, dengan demikian terkanan dapat dihindari dan stresspun menjauh. hal ini biasa disebut dengan kecerdasan emosional (EQ).

namun ketika persoalan semakin kompleks dan tekanan semakin berat, hatipun biasanya tak akan sanggup untuk mengatasinya, disinilah kecerdasan spiritual (SQ) bermain.

maka ketika otak, hati tidak mampu lagi mengatasi suatu masalah, biasanya para pemilik SQ yang baik akan menuerahkan semua urusan kepada Sang Penguasa, biasanya sebuah solusi akan muncul tiba-tiba seperti layaknya sebuah wahyu (kalo zaman dulu), atau ditandai dengan kondisi batin yang makin tenang karena percaya bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi masalah dan yakin 110% bahwa ada penolong yang maha berkuasa yang akan menolongnya.

dengan begitu stress dan penyakit lainnya tidak akan dengan mudah menghampiri orang itu, dan kondisi tubuhpun lebih sehat, apalagi bila ditunjang dengan makan makanan sehat, pola hidup yang teratur, olahraga yang cukup, asupan vitamin yang baik, dan tidak lupa rekreasi untuk memulihkan semangat yang kendur, niscaya mensana in corpore sano (didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat) akan bisa terwujud, mau coba ?

wassalam
al-fakir ad-dhaif
varendy

Thursday, February 01, 2007

Kenapa Jakarta Banjir ? (Tinjauan Dari Segi Sains Dan Budaya)

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

sebenenernya awal bingung mau nulis apa di sini,udah beberapa hari nggak nulis ternyata berpengaruh juga, jadi nggak sensitif dengan dunia sekitar, kali ini kita mo ngomongin soal banjir di ibukota, sebenernya malu kali ya ngomongin banjir, di ibukota lagi, tapi kita coba lihat banjir dari segi lain.

seperti kita ketahui bersama bahwa siklus air terdiri dari beberapa fase dari penguapan uap air oleh matahari, lalu uap air naik dan berkumpul di awan, mengalami kondensasi, mengumpul menjadi banyak, sampai ke fase jatuhnya air ke bumi, siklus ini akan terus berulang selamanya, kecuali memang salah satu mata rantainya ada yang mengalami perubahan atau sengaja dirubah.

misalnya dalam kasus hujan buatan, awan yang berpotensi menghasilkan hujan akan "dipaksa" menurunkan kandungannya - yang sebenarnya belum waktunya turun - ke bumi. caranya adalah dengan memberikan garam kepada awan tersebut, sehingga massa jenis awan menjadi bertambah dan lebih berat. ini mengakibatkan air akan turun karena berat jenisnya bertambah, kenapa garam ? karena garam merupakan senyawa kimia yang relatif aman bagi tubuh manusia. itu merupakan salah satu contoh ketika ada campur tangan manusia dalam proses pernurunan hujan ke bumi.

sedangkan sebab lain siklus air berubah adalah karena salah satu ekosistem pendukungnya terganggu atau berubah pula, baik secara alamiah maupun secara buatan. kita tentu sudah mengetahui tentang hutan bakau dan rawa-rawa di utara jakarta yang semakin hari semakin emnyusut jumlahnya, hutan bakau dan rawa-rawa ini berada di wilayah utara jakarta, secara alamiah ia berfungsi ganda sebagai pelindung dari gempuran ganas ombak laut utara jakarta, juga sebagai daerah resapan air jakarta.

dengan alasan ingin tingginya ertumbuhan manusia di jakrta dan membuka lahan pemukiman baru, maka hutan bakau dan rawa-rawa itu akhirnya "dialihfungsikan" menjadi lahan pemukiman. akibatnya fatal, kita juga paham bahwa bulan-bulan ini gelombang laut sedang naik pasang.

belum lagi ditambah fakta dari BMT, yang menunjukkan bahwa temperatur di daerah sekitar jakarta sedang meningkat sebesar 0.05 derajat celsius, cuaca akan jadi lebih panas, dan curah hujan akan meningkat pula. karena curah hujan tinggi maka kelembaban akan tinggi pula. ditambah lagi dengan kelakuan awan-awan hujan yang biasa berkumpul di atas kota bogor kini mendekat menuju kearah utara, lebih spesifiknya, kota jakarta.

kota jakarta juga terkenal akan ketidak-teraturannya warganya, rasanya tak jarang kita jumpai warga jakarta yang membuang sampah bekas makan dari kaca jendela mobil atau dari atas motor, atau para pejalan kaki yang dengan gampangnya membuang sampah di trotoar jalan, entah kenapa tapi hal ini seolah seiring sejalan dengan berkembangnya kota ini kearah kota megapolitan. belum lagi gorong-gorong dan got jakarta yang tidak sesuai dengan standar drainase kota sebesar jakarta.

kali dan sungai di jakarta juga "disulap"menjadi tempat sampah, kalo ada sampah rumah, tinggal buang saja ke kali, mungkin begitu pikir para penduduk disepanjang bantaran kali ciliwung. coba kita lihat di pintu air manggarai, betapa sampah malah sudah bisa diinjak oleh pemulung untuk mengais seberkas rezeki yang mungkin tertinggal disana. artinya sampah sudah sedemikan menumpuk sehingga seakan menjadi sebuah pulau baru di pintu air itu.

klop deh jadinya, daerah resapan air terus berkurang, dan gelombang laut sedang meningkat, hutan bakau berkurang kuantitasnya, lalu temperatur meningkat, curah hujan tinggi, drainase buruk, perilaku masyarakat yang kurang concern akan kebersihan, lalu got-got yang sering mampet, kombinasi kompak kesemua faktor alam dan buatan itu membuat saya bisa memprediksi bahwa dalam saat yang dekat ini, jakarta akan tenggelam !

bukti sahih sudah terjadi ketika banjir lima tahunan mulai datang lagi ke jakarta, prediksi saya bahwa banjir itu akan lebih parah dari banjir lima tahunan pada tahun 20001 lalu, yang menenggelamkan stasiun kota dan sebagian besar wilayah jakarta, bukan hanya itu, bahkan wilayah pendukung jakarta seperti bekasi, tangerang, karawang pun bisa jadi akan tenggelam juga, kita lihat saja nanti apa yang terjadi, semoga kita semua diberi keselamatan oleh-Nya. karena hanya Dia yang mampu menyelamatkan kita semua dari musibah yang hampir pasti ini.

wassalam
al-fakir ad-dhaif
varendy

Monday, January 29, 2007

Sebuah Perjalanan (sebuah cerpen)

Sebuah Perjalanan
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Maret 2003

Pukul 03.45 WIB

Asalamualaikum warahmatullah . . .

Kuakhiri qiyamul lailku dengan dua ucapan suci itu, sejurus kemudian segera kubuka kitab kecil yang senantiasa setia menemaniku. Ayat demi ayat dari juz ke-29 segera kulahap habis, meninggalkan sebuah bait lagu terindah yang pernah dibuat, indah, sederhana namun mengandung kandungan yang sangat luar biasa, yang kuyakin tak seorangpun mampu menirunya, walau satu ayat saja. Tak ada suara lain yang terdengar selain suara lirihku dan suara mencuik yang datang dari luar rumahku. Dentangan datang menyeruak konsentrasiku, dentang jam kamarku, satu kali, dentang yang beberapa waktu sebelumnya telah berbunyi empat kali. Dentangan yang segera menyadarkanku akan kewajibanku, segera kubergegas mengambil air wudhu, ah segarnya! Lapat-lapat terdengar suara, panggilan suci kepada setiap insan di muka bumi ini untuk melaksanakan perintah, bukan, mungkin lebih tepatnya ajakan sang khalik. Kuayunkan langkah gontaiku menyusuri jalan gelap nan terang benderang, menjawab panggilan sang maharaja.








Januari 2003

Pukul 04.00 WIB

“Astaghfirullah” aku tiba-tiba terjaga, suasana sangat tenang, deru angin malam membelai kelam malam, menemani kesepian alam, sunyi, tidak ada orang bertopeng membawa pisau berdarah-darah, tidak ada seorang psycho yang mengejar-ngejar dengan chainsaw yang berbau amis, tak ada dokter gila yang ingin menyuntikku dengan suntikan berlabel tengkorak berisi cairan kental hijau pekat, sepi, kulangkahkan sepasang kakiku, kali ini tujuannya sangat jelas, entah mengapa kali ini aku sangat ingin segera menuju kamar mandiku dan mengambil air wudhu. Kurasakan dengan segenap indraku saat air menyentuh kulitku.

“Aah segarnya” ajaib! semua pikiran negatif yang bersarang diotakku seperti tersedot olehnya, ia bagaikan sebuah black hole yang takkan membiarkan sebutir debu lolos dari sergapannya, yang tertinggal hanyalah ketenangan, damai, otakku benar-benar fresh, seperti komputer yang baru diservis, motor yang baru masuk bengkel, bukan, bukan seperti itu, tetapi lebih seperti air sungai murni yang mengalir dengan tenangnya, tanpa pernah memikirkan akan tujuannya, berpasrah diri akan seluruh putusan-Nya, tak ada penyesalan, tak ada komplain, damai, benar-benar sangat tenang. Lamat-lamat terdengar suaraku yang keluar dari rongga tenggorokanku, lirih namun penuh kesungguhan, tujuh ayat pembuka lembaran agung, ummul qur’an . . . . .









September 2002

Pukul 04.37 WIB

Assholatu khairum minannauum 2x

Lapat-lapat panggilan suci itu sekali lagi bergema, keseantero kompleks rumahku, namun aku masih belum juga terjaga, 10 menit kemudian setelah arwahku terkumpul, aku terjaga itupun dengan susah payah, wekerku yang paling berjasa mengganggu mimpi indahku, tapi anehnya aku sangat senang, ini hari ke-7 aku tidak lagi dapat tidur tenang, aku selalu terjaga. Dengan mata agak nanar dan tangan yang meraba-raba aku berjalan, ya rabb betapa berat ujian ini menderaku, kuatkanlah selalu iman hambamu yang setipis kertas ini, kuatkanlah selalu niat didalam hatiku yang kelabu, hamba yang sangat dhaif ini benar-benar seperti debu dihadapan-Mu, kuatkanlah hamba agar mampu menyelesaikan semua ujian yang kau berikan dengan baik, sayup-sayup terdengar gemericik air.


Juli 2002

Pukul 05.46 WIB

“Kriiiiiiiing” Bunyi itu langsung menyentakkanku ke alam nyata, menyadarkanku dari F-2002 yang tadi tampak nyata sekali kukendarai. Kukucek mata sayuku lalu kulirik wekerku yang sudah lebih dari 10 menit berteriak-teriak. Kuhantam bagian atasnya dengan tinjuku, membungkam teriakannya, meninggalkan keheningan seketika, tak ada suara mencuik, tak ada daun yang bergesek, tak ada angin menderu, alam benar-benar tertidur pulas, yang tertinggal hanyalah suara desah nafas dan detik lemah jarum jam. Ingin segera kubasuh wajahku dengan air suci itu, memohon merintih dan mengadu kepada-Nya. Namun ternyata respon tubuhku malah mencoba memperbudakku kembali kekursi F-2002 ku, kucoba melawan tetapi dia terlalu kuat, atau aku memang dengan ikhlas dan sengaja menyerahkan seluruh kuasa kontrol tubuhku pada rayuannya? Dan aku pun kembali terlelap . . . .


April 2002

Pukul 05.50 WIB

“Kriiiiiiiiiiiiing”,”Bug !!”, “5 menit lagi deh”

Pukul 06.45 WIB

“Ham, ham, bangun ham, subuh”
“Iya mah, iya !!” Jawabku dengan mata seperempat watt, langkahku gontai, kepalaku terasa berkunang-kunang, pandanganku sangat kabur, bahkan bila seekor dinosaurus sekalipun berada didepan mataku, tak mungkin aku melihatnya, kakiku menyentuh sebuah kotak, dan wajahku mencium lantai dengan gemulainya, seakan lantai tersebut merupakan gymnasium senam olimpik.

Pukul 07.15 WIB

Kulajukan ninjaku menerobos kota Jakarta yang rupanya telah terbangun dari tidur singkatnya, dan sekarang tengah menggeliat kembali, sayangnya waktu bangunnya sangat tidak cocok dengan jadwalku, dari kejauhan terlihat kendaraan beroda empat sedang mengantri bagai ular naga yang panjang, melalui jalan tiga jalur yang kini seluruhnya tertutup oleh mereka, begitu pula kondisi dari arah yang berlawanan. Pedagang kaki lima, bajaj, tukang roti, tukang sayur, dan pejalan kaki, semuanya ikut bersatu padu didalamnya, melengkapi teriakan-teriakan isi kebun binatang yang bersahut-sahutan bagai koor sebuah mega opera, seorang bapak pengendara BMW dan seorang anak muda pengendara R-GR saling bertukar pendapat, atau lebih tepatnya perang urat leher, nampaknya sedang membicarakan kaca spion yang lebih mirip serpihan kaca kasar, aku hanya bisa tersenyum pahit.

Februari 2002

Pukul 07.00 WIB

Assalamualaikum Wr. Wb
Kuakhiri subuhku dengan sangat tergesa, ya ternyata untuk kesekian kalinya aku terlambat shalat subuh, mungkin karena aku terlalu lama bergelut dengan PS 2 ku, atatu karena aku sangat sibuk dengan kegiatan kuliahku, terlalu egoiskah aku? Aku rasa tidak, semua itu memang sudah tanggung jawabku, dan tuntutan untuk memenuhi semuanya membuat aku jauh dari-Nya, apakah itu hal yang benar? Ya mungkin saja . . .

Pukul 08.23 WIB

Aku terlambat, untuk kesekian kalinya dalam hidupku, kupikir aku dapat bangun lebih pagi kali ini, ternyata aku salah, kupercepat langkahku, dosenku pasti tidak akan senang dengan hal ini.

“Selamat pagi pak” akhirnya aku sampai ke kampus dengan terengah-engah dan dengan wajah berantakan, kombinasi sempurna dari capek, penat, stress, kurang tidur, dan kesal.
“Oh, anda, silahkan masuk, tapi sesuai dengan perjanjian kita pertama, anda tidak akan saya absen” Jawabnya tanpa menoleh sedikitpun padaku
“Terima kasih, pak” senyumku sinis, tapi kenapa kali ini dia begitu baik?





Desember 2001

Pukul 07.30 WIB

Lagi-lagi kesiangan, ini sudah sangat sering terjadi, tapi kenapa selalu berulang? kenapa sih weker sialan itu tak bisa membangunkanku? rutukku dalam hati, tapi tetap kupercepat seluruh gerakan sendi tubuhku.

Pukul 20.17 WIB

Kulajukan ninja hijauku menembus batas kewajaran lalu lintas, menyelip diantara antrian kendaraan pribadi para pembesar ibukota, nampak tak jauh dariku sebuah Mercedes Benz E-Class yang ditumpangi wanita muda dengan pakaian ketat dan rok yang minim yang menggelayut manja ditangan seorang eksekutif paruh baya. Si eksekutif paruh baya hanya melongo ketika kaca spionnya sedikit tersentuh oleh stang ninjaku, yang kemudian tergontai jatuh dari bingkainya. “Cepat ilham cepat, sebentar lagi acara pestanya rani akan segera dimulai” batinku menjerit. Sebuah pesta biasa, cuma pesta sweet seventeennya Rani yang dihadiri oleh teman-temanku.

“Met ultah ya Ran, sori aku ga sempet nyari kado” kataku, sambil tanpa ragu menjabat tangan halusnya. Tanpa pernah berpikir kalau aku dan dia belum resmi berhubungan, bahkan sebagai pacar sekalipun, ah what the hell, biarkan sajalah. Dilanjutkan dengan acara cium pipi.
“Oh iya iya, gapapa ko, kamu dateng ke ultahku aja aku udah seneng banget, oya aku anter kamu keliling ya” katanya sambil menggandeng mesra tanganku.
“Oh thanks, ga usah, biar aku sendiri aja ran, makasih” sambil kulepas paksa gamitan tangannya dan segera melarikan diri menuju bagian lain dari taman itu.

Batinku membisik, untung sekali aku masih bisa mengendalikan hawa nafsuku. Masalahnya bukan saja pada gamitan tangannya itu, tapi juga pada pakaian yang dikenakan rani, pakaiannya benar-benar ketat dan terbuka. Ya rabb kuatkan imanku. Iman? Bukankah tadi aku sudah menggenggam tangannya? Mencium pipinya? Ah tapi itu masih wajar, bukankah aku masih bisa mengendalikan diri? buktinya saja aku masih bisa menahan nafsuku. Tapi aku bisa merasakan sesuatu, sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang sangat halus, sesuatu yang abstrak, sialnya aku tak tahu apakah itu, kularikan ninjaku menuju rumahku, meninggalkan bayangan Rani dan kawan-kawanku yang memanggil-manggil namaku. Niatku sudah bulat, aku takkan menghadiri pesta macam apapun yang seperti itu. Tapi apa aku mampu, mengingat pesta sejenis sudah beratus bahkan beribu kali kujalani tanpa perasaan apapun yang membekas di kalbu, mengapa sekarang aku harus menghindar? Untuk apa? Mengapa kini muncul perasaan lain? Batinku bergulat dalam keraguan yang absurd.


Oktober 2001

“Rokok ham”
“No thanks, gw lagi males ngerokok”
kusimak sebentar raut wajah sohibku yang sepertinya agak bingung. Tapi segera ia menarik tangannya yang memegang bungkus rokok dan langsung bertanya balik.
“Ko tumben sih lo ga nerima rokok gw, kenape lo?”
“Gw lagi BT men, sohib kentel gw, si roni kemaren lewat gara-gara gituan” balasku sambil menunjuk kotak berlabel larangan pemerintah disisi sampingnya.
“Sori ham, gw baru tau”
“Bukan salah lo bro, itu emang dianya aja yang tambeng, udah gw kasi tau berkali-kali, tapi dia ga pernah mo dengerin gw sekalipun, padahal dia kan udah divonis dokter kena pneumonia akut, kalo gw si gapapa, cuma batuk-batuk kecil aja, minum obat batuk bentar juga pulih lagi, he he he” tawanya terkekeh.
“Iya ntar kalo lo batuk darah baru tau rasa lo” sambarku jengah.
“Aah itu mah masih lama brur, nyantai aja coy”
“Sotoy lo, jangan ngedahuluin tuhan, siapa tau besok jatah umur lo di dunia di privatisasi, baru nyaho lo, udah ah gw cabut dulu ya, bye jon” akupun segera berlalu meninggalkan kepulan asap dibelakangku.

Juli 2001

Hangatnya bias sinar mentari pagi merembes melalui setiap relung jendela kamarku, seorang bocah berbaju kotak-kotak hijau putih dengan peci kecil menghias kepalanya yang besar, penuh gairah menyongsong datangnya pagi, langkah kaki kecilnya yang setengah berlari, entah mengejar apa, terus bergerak dengan bersemangat, polos, suci, lembut, bagaikan selembar kain sutra yang belum terjamah tangan-tangan para pedagang, mengindahkan teriakan ibunya yang bertampang cemas yang segera bergegas menyusulnya dengan langkah cepat-cepat.

Entah sudah berapa masa aku tertidur pulas, yang kutahu sejak aku berusaha mengerjapkan mataku untuk bangun kepalaku terasa sangat berat, bahkan untuk sekadar mengangkat kepalaku akupun merasa sangat terbebani. Tak ada yang mampu kuingat dengan baik, hanya kepulan asap tanaman berdaun gerigi yang mengisi memori otakku, beserta beberapa botol cairan kekuningan transparan yang tak sadar kureguk lagi kemarin, dua hari yang lalu. Dengan gontai kuraih handphoneku, tanggal 21 Juli 2001, Astaga, berarti sudah sedari pagi kemarin aku terlelap !!!









April 2001

“Minggu ada acara nggak ham?”
“Nggak tuh, kenapa” Jawabku sambil menenggak seloci penuh cairan itu.
“Gw mo ngajakin lo pergi hangout ke puncak”
“Ok, it’s a deal, man”
“Lo emang temen terbaik gw ham, ha ha ha”
“Nevermind”
“Lo bawa bo’il lo ya ham, tar gw telpon friska, anak ekonomi itu lho”
“Buat apa?”
“Ya buat nemenin lo lah, kabarnya sih dia juga demen sama lo, kan lumayan tuh kesempatan lo selama kita di puncak, yah terserah lah lo mo ngapain, bebas aja, kan nggak ada yang ngawasin, toh gw juga bakal ngajak tari”
“Terserah lo aja, kok malah ngajak tari, jasmine, cewek lo mau dikemanain?”
“Aah gw lagi males sama dia, sok alim banget, masa gw coba sosor dia nolak, katanya belom waktunya, padahal gw yakin dia pasti mau tuh, udah lah ham, gw cuma mo have fun sama tari weekend besok, dah ya sampe besok ham, daah”

Friska, mahasiswi ekonomi yang terkenal dengan kegenitannya, pakaian dan dandanan seksi menjadi pilihan berbusananya, sepertinya ia bangga jika mata setiap lelaki mengikuti seluruh gerakan tubuhnya ketika ia berjalan, entahlah, kenapa ia harus berbangga diri? bahkan dengan para pengajar sekalipun, nilai A yang disandangnya dalam sebuah mata kuliah bahkan menjadi pembicaraan serius di kalangan anak ekonomi, ah biarkanlah, apa yang terjadi, biar terjadi besok.







Prolog

Beberapa Bulan Setelah Maret 2003

03.38 WIB

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh . . . . .

Kuakhiri pertemuanku dengan seuntai salam kepada sang maha pengasih dini hari ini. Alih-alih meraih mushaf kecilku, malam ini aku duduk terpekur dalam pekat malam, sepi tak ada secuilpun bunyi keluar dari satu makhluk hidup pada malam ini, benar-benar sunyi senyap. Anganku pun melayang kemasa laluku yang penuh debu. Kucoba buka kembali lembaran-lembaran kumuh yang penuh dengan cerita kelam. Ke masa-masa lalu yang penuh dengan geliat nafsu yang tak terkendali, menyusuri relung-relung tergelap dalam sejarah hidupku. Tak terasa mengalir dua buah kristal bening dari mataku, kemudian diikuti oleh beberapa temannya yang semakin banyak jumlahnya. Teringat sebuah ucapan singkat nan penuh dengan mutiara hikmah, ucapan yang minimal terucap lima kali dari sela-sela tenggorok kita sehari semalam, yang sampai saat ini entah mengapa belum bisa secara kaffah kujalani. Inna shalati, wanusuki, wamahyaya, wamamaati, lillahirabbil ‘alamiin . . . . . Tersungkurku dalam sujud yang panjang. Ya rabb, aku milik-Mu kini, sepenuhnya dan seutuhnya.


Bekasi, April 2006

NB : Untuk saudara-saudariku di jalan dakwah yang sering merasa terlambat untuk
berhijrah, yang sering merasa lelah dalam berdakwah, mari kembali ke jalan yang
penuh cinta ini, moga sejumput asa bisa kembali tertumbuh, bergeraklah ! mari kita
bangun dan lalui jalan yang penuh dengan onak dan duri ini bersama, sekali lagi,
bergeraklah ! karena diam berarti mati! love you all because of Allah.

Pertemuan Yang Tertunda (sebuah cerpen)

Pertemuan Yang Tertunda
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Malam kian larut, namun kota jakarta nampaknya belum berniat untuk berhenti berdenyut, setelah sang surya sehari penuh menjalankan tugas rutinnya dan kini telah terlelap, tidak begitu dengan manusia Jakarta yang sibuk, siang boleh berganti malam, namun kota jakarta harus tetap berdenyut, mungkin begitu pikiran mereka.
Rinai rintik hujan terus membasahi aspal Jakarta, saat itulah kudengar teriakan halus yang memaksa mengurangi laju motorku, akupun segera menuju kearah sumber suara tersebut. Dua setengah menit kemudian motorku kembali menggerung.



“Ya, belokan kedua belok kanan ya bang”
“Belokan kedua belok kanan” beoku

Motor tuaku pun melaju membelok pada tikungan yang dituju

“Rumah pagar biru bang”

Tepat tiga meter setelah ucapan itu akupun berhenti didepan rumah bercat biru yang terkesan seperti istana, megah namun sangat kontras dengan keadaan sekitarnya, sedikit terkesan angkuh.

“Berapa bang?” Tanyanya dengan wajah tersenyum manis
“Tiga ribu” Jawabku pendek

Ia langsung membuka dompetnya dan menyodorkan uang plastik berwarna merah bergambar orang berkacamata.

“Waduh maaf neng, tapi kembaliannya nggak ada”

Ia pun segera merogoh kantong celana jeansnya, mencoba mengeluarkan setiap sen uang yang terdapat didalamnya. Sementara rintik hujan mulai jinak.

“Yah, saya cuma punya dua ribu tujuh ratus lima puluh aja bang, saya nggak biasa bawa uang recahan sih, trus gimana nih?” Sahutnya
“Ya udah deh neng nggak apa-apa” jawabku
“Oya nih ada tambahan, buat abang aja semuanya” Serunya sambil lagi-lagi tersenyum manis dan menyerahkan ‘tambahan’ tadi ketangan kananku, wajah yang jelita, namun entah kenapa aku dapat melihat kabut dibalik mata indah itu.

“Makasih ya bang”
“Sama-sama neng”

Sosoknya kemudian segera menghilang dibalik pagar kekar bercat biru muda. Kupandangi pagar itu. Perbandingan yang amat tidak seimbang dengan ukuran tubuhnya yang mungil. Empat detik kemudian aku tersadar, “‘Tambahan’? mungkin bisa untuk menambah penghasilanku selama sehari ini, meskipun hanya beberapa ratus rupiah” harapku.

Kubuka tangan kananku, kupandangi ‘tambahan ‘ itu, kubaca tulisan yang tertera pada pembalutnya, “Tuti-Fruity”, aku pun tersenyum, segera kumasukkan sebuah ‘tambahan’ tadi kedalam mulutku setelah menyingkirkan pembalutnya dan menyimpan lima sisanya didalam kantungku.

“Lumayan, untuk anakku dirumah” batinku.

Dan akupun berlalu.


.
“Hexos-hexos, permen penyegar dan pelega tenggorokan, kami tawarkan cukup dengan seribu rupiah saja” kata seorang pedangang.
“Tahu isinya, bu, enak, gurih, renyah, dijamin kenyang deh, murah bu, murah, ya yang laper silahkan beli, ada juga anggurnya lho bu, pak, Anggur? Tahu bu?” cerocos pedagang lainnya.
“Koran, koran, pos kota, lampu merah, bola, tempo, republika, kompas, semua ada, ya pak, cari apa? Bola? Empat ribu lima ratus aja pak, makasih ya pak” seorang remaja tanggung berteriak lantang menawarkan dagangannya. Matanya berbinar ketika mendapatkan seorang pelanggan.

Aku menunggu giliranku, ketika bus sudah hendak beranjak dari tempatnya beristirahat sejenak, akupun segera maju ke bagian depan bus.

“Ya bapak-bapak, ibu-ibu semua, mohon maaf jika saya mengganggu perjalanan bapak-ibu semua, bukan maksud saya ingin mengganggu, saya hanya mencoba mencari rizki yang masih halal untuk saya, daripada saya nyolong, ya nggak?” teriakku lantang disertai senyum yang ikhlas..
“Oke, lagu pertama dari koes plus, buat bapak-bapak dan ibu-ibu yang tahu dan punya kenangan bersama lagu ini, boleh kok nyanyi bareng sama saya, he he he, okeh kita mulai aja ya, ini dia bunga di tepi jalan” lanjutku.

Kupetik gitar tuaku yang masih menyisakan sisa-sisa kebeningan nadanya. Dan mengalunlah lagu pertamaku dengan lancar sampai selesai.

“Ya itulah lagu pertama saya, moga-moga dapat menghibur anda, langsung saja, lagu kedua dari saya, ching ai dari raihan” kataku sambil melongok kelua jendela bus, “Wah sudah sampai hampir masuk tol, berarti waktuku bernyanyi tinggal dua lagu lagi” bisikku dalam nurani.

Kemudian lagu kedua pun mengalun lancar bagaikan air

“Timur, timur, ya yang turun, ati-ati, pelan-pelan, ayo bu, awas ati-ati” teriakan sang kondektur mengiringi akhir laguku, lalu setelah pidato singkatku, aku merogah kantong belakang jeansku dan mengambil bungkus permen yang kemudian kuarahkan ke para penumpang yang masih tersisa.

“Terimakasih atas perhatiannya, mohon maaf sekali lagi kalau saya mengganggu, semoga amal ibadah bapak, ibu sekalian diterima oleh tuhan yang maha esa, sekian dari saya, terimakasih”

Kuturunkan kakiku dan melangkah menuju trotoar jalan. Kutengadahkan kepalaku kuarahkan padangku ke bola merah raksasa yang hampir tenggelam dan mulai meredup, menyisakan garis panjang kemerahan yang menghias cakrawala. Ah ternyata salah satu episode senja di ibukota telah berlalu, digantikan munculnya sang malam nan menyejukkan hati.

Tiba-tiba raungan klakson menyeretku kembali ke aspal dan memkasaku melompat kesamping.bergulingan di trotoar yang penuh debu.

“Woi minggir, mo nyari mati ya?” teriak sang bapak garang dari dalam kaca mobil yang setengah terbuka.
“Ah ternyata senja di ibukota masih menyimpan sedikit episode penutupnya” desahku dalam hati.


Siang itu matahari bersinar sangat cerah, berkas-berkas sinar panas berhasil meloloskan diri dari celah-celah dedaunan pohon yang jarang, seorang mahasiswa yang kepanasan mencari perlindungan di bawahnya, kebetulan sekali didekatnya apa penjual minuman dingin yang segar, segera ia merogoh saku celananya kemudia membayar sebotol minunan dingin nan sejuk.

Hanya dalam tempo waktu yang singkat botol itu telah berpindah tangan kembali ke tangan sang penjual minuman dingin, namun kali ini seluruh isinya telah berpindah ke perut sang mahasiswa. Tak lama kemudian bus kota yang ditunggunya datang, tanpa ragu dilangkahkan kakinya menaiki bus kota yang berdebu. Sesok tubuh kemudian masuk menyusul langkah mahasiswa tersebut kedalam bus kota.


“Berapa pak?”
“Lima ribu dik”

Remaja itupun membuka dompet kecil merah jambu bergambar karakter kartun klasik, Mickey Mouse yang sedang memakai tuxedo hitamnya lalu merogoh kedalamnya, hendak mengambil selembar uang lima ribuan nampaknya..

“Ini bang, makasih ya” sahutnya seraya mengulurkan lembaran uang lima ribuan
“Oya makasih juga ya dik” jawabku

Remaja itupun segera bergegas kearah pintu masuk sebuah mall yang cukup terkenal di bilangan jakarta. Kupandangi sejenak penampilan remaja itu, kaus ketat masa kini yang agak transparan, lalu dengan rok mini yang sama ketatnya, menampilkan banyak dari lekuk tubuh yang seharusnya tidak menjadi konsumsi publik umum. Belum lagi parfum dengan aroma yang meracuni hidung. Dari penampilannya kemungkinan ia akan bertemu dengan kekasihnya disini.

Rupanya zaman sudah mulai bergeser, perilaku masyarakat kini kurasa semakin menjauh dari nilai-nilai luhur bangsa ini dulu, bahkan gaya berbusana yang dulu dianggap tabu kini mulai marak menjadikan tubuh-tubuh wanita sebagai komoditi utama konsumsi publik. Apa memang menjadi modern harus seperti ini? Apakah dengan alasan modernisasi semua adat-istiadat dan aturan luhur bangsa ini harus diganti? Pertanyaan yang tak terjawab itu kutelan bulat-bulat dan kusimpan dalam relung hatiku yang terdalam. Biarlah, toh semua itu bukan urusanku, kenapa juga aku yang harus merecokinya.

Kupandangi kadaan sekitar, “Huh, siang ini panas sekali” rutukku, udara seperti ini membuat seluruh energiku bagai terkuras habis sampai ke dasarnya, entah mengapa cuaca akhir-akhir ini seringkali berganti dengan cepat, bukan hanya itu, sekali waktu cuaca sangat panas terik menyenget kulit, namun keesokan harinya cuaca bisa dengan drastis berubah kembali menjadi agak mendung, bahkan tak jarang hujan deras mengguyur dengan hebatnya. Hari ini aku agak tak enak badan sebenarnya, tapi mau tak mau aku harus bekerja, susu anakku jauh lebih penting dari apapaun saat ini. Bayang wajah polos putraku ternyata berhasil mengisi ulang seluruh energiku ke level tertinggi, kulajukan motor pinjamanku menuju arah cawang.


“Cawang kiri bang !” teriak seorang ibu muda.

Supir bus kota pun segera menepikan bisya ke kiri untuk menurunkan penumpangnya, aku juga segera bersiap setelah kemasukkan kantong berisi recehan ke kantong belakang celanaku. Penumpang yang berjubal turun dari tangga, berdesak-desakkan seperi biasa, seorang nenek tua yang hendak bangkit dari duduknya nampak ragu, kemudian kembali duduk, mengurungkan niatnya karena melihat tumpukan orang yang berdesak-desakkan di ointu keluar, “nanti sajalah” mungkin itu yang ada dipikirannya.
Ciri ini nampak umum aku temui pada masyarakat jakarta yang selalu tergesa, namun entah mengapa tak bisa bersikap tertib. Semua orang ingin duluan, tak jarang ada ibu yang terinjak kakinya, atau tersenggol badannya. Kuurungkan niatku untuk turun kutunggui nenek tua itu, kemudaia setelah semua orang turun akupun segera menggandeng tangan nenek tua itu untuk kemudian kutuntun turun dari bus kota.


Baru saja kaki sang nenek menyentuh aspal, tiba-tiba
“Ckiiiiittt”
“Aaaaahhh”
“Awas neeeeek” refleks kudorong tubuh sang nenek, kulihat ia terjatuh di trotoar, namun beruntung, jatuhnya tertahan oleh tas yang dibawanya sehingga menghindarkannya dari cedera yang serius.
Motor yang berdecit-decit itupun akhirnya berhenti beberapa meter setelah tempat sang nenek jatuh, pengemudinya turun dan segera memarkirkan motornya disisi jalan.

“Nenek gapapa?” tanyaku khwatir sambil memapah tubuh ringkin itu
“Ya, nenek gapapa” sahutnya masih shock
“Ada yang luka nek?”
“Nggak nak, nenek baik-baik aja, terimakasih banyak nak”
“Nenek, nenek gapapa nek” tanya sang pengemudi motor cemas.
Rupanya ia kembali ketempat sang nenek jatuh untuk menengok keadaannya.
“Ya nenek, gapapa kok, nenek baik” sahut sang nenek.
Dengan penuh amarah kucekal leher baju sang pengemudi yang masih memakai helm tersebut.
“Lo nggak punya mata ya? Lo nggak liat nih nenek hampir aja lo tabrak!” corocosku dengan nada yang tinggi
“Lo kalo jalan yang bener ya? Pake tuh otak lo, jangan mentang-mentang lo naik motor lo bisa seenaknya aja ngebut!.Pake tuh mata!” lanjutku panas.
“Oke, oke sori, gw salah” katanya
“Salah, salah, gampang banget lo ngomong kaya gitu?” lalu kuhempaskan tubuh pemuda itui ke trotoar, ia jatuh terduduk, kemudian kulemparkan gitarku kesampingnya.
“Iya gue ngaku salah, gw tadi meleng, sori” sahutnya sambil berusaha membuka helmnya.
“Makanya lo harus . . . .” kata-kataku berhenti dan amarahku serasa tersedot habis ketika pemuda itu membuka seluruh helmnya
“Tiro ???” tanyaku
“Herman ???” jawabnya
“Kamu betul-betul Tiro ???” tanyaku heran
Kubantu pemuda itu berdiri, lalu kupeluk erat tubuh pemuda itu.

“Tiro, syukurlah !!! kamu selamat !!!”

Tak terasa bulir-bulir air bening dari sela-sela mataku mengalir turun membasahi jaket pengemudi itu.


Epilog

Pagi hari yang cerah, seperti biasanya seusai bangun pagi, aku mulai bersiap untuk menanti datangnya pagi nan cerah, hari ini aku berencana akan berkunjung kerumah teman karibku untuk bersilaturahmi, kami akan pergi bersama ke pantai, kebetulan sekali ia tinggal dekat pantai.
Kususuri jalan setapak yang menuju kearah rumahnya, beberapa masa kemudian mulai terlihat atap rumahnya, kupercepat langkah kakiku, tapi tiba-tiba kulihat pemandangan yang agak aneh, ombak pantai yang biasanya ramah, tampaknya kini mulai mengganas.
Lalu bumi bergetar dengan keras, kemudian barisan orang keluar dari rumahnya masing-masing dengan panik, kulihat sosok teman karibku dan istrinya yang juga berlari bersamanya. Kupanggil dia, tapi dia membalas dengan seruan “Lariiii” Saat kualihkan pandangku kearah pantai pantai, ombak setinggi beberapa puluh meter tampak datang dengan cepat kearah kami. Akupun segera berlari menyusul temanku, ombak makin mendekat dengan kecepatan luar biasa, buihnya yang putih bercampur dengan tanah dan lumpur hitam pekat yang entah datang darimana, karena terlalu tergesa, tak terasa kakiku terantuk akar pohon yang mencuat keluar dari tanah, akupun terjerembab menyentuh tanah
Kubalik badanku untuk melihat ombak raksasa yang siap menelan apapun yang dilewatinya. Kudengar teriakan cemas temanku itu, tapi kemudian segalanya menjadi gelap, sangat gelap.


Bekasi, Agustus 2006

NB : Untuk semua korban bencana dimanapun kalian berada, tabahlah wahai sahabat,
kami semua akan selalu bersamamu . . .

Hibernasi (sebuah cerpen)

Hibernasi
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
Dari tempat kebersandar seiring lantun kereta
Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah
Menbuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna

Seuntai lagu dari sebuah grup band yang aku ingin sekali bisa bersikap seperti nama grup itu, ketika kita makin berisi dengan ilmu dan umur kita, maka kita akan makin tunduk menyentuh tanah, apa aku bisa ya? Lagu itu menemani aku menyusuri perjalananku menuju tasikmalaya, kenapa bisa pas sekali ya? Ah entahlah, toh semua itu sudah ada yang mengaturnya. Senyumku mengembang ketika anganku melayang, ia pasti kaget saat mengetahui aku berada di tasikmalaya.


Ketukan pintu bergema ketika pintu kayu itu diketuk dari luar. Ketukan itu memaksuku menghentikan goresan kuasku pada lukisan setengah-jadi lereng kaki galunggung yang berada di depanku. Dengan malas kubuka pintu kamarku. Seorang wanita paruh baya dengan senyum terkembang muncul di depan pintu. Ia mbok pasmi, seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia pada keluarga ini, sudah bertahun-tahun ia mengabdi pada keluarga ini. Keluarga ini pun telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga, bukan lagi yang sebagai pembantu rumah tangga.

“Maaf den gun, ada tamu nunggu aden dibawah” katanya dengan ibu jari yang menunjuk kearah tangga menuju lantai bawah. Khas sekali ciri masyarakat jawa yang masih memegang adat.
“Aduh, mbok pasmi ini, kan udah aku bilangin, kalo manggil nggak usah pake den didepannya” jawabku tanpa bernada tinggi dalam kandungan suaraku.
“Maaf den, eh gun, udah kebiasaan” Ia mengurangi kta den ketika melihat tatapan mata ku yang berubah, aku tersenyum kecil.
“Kalo mbok pasmi mau panggil aku nak aja, gimana?”
“Inggih den, eh nak gun” aku kembali tersenyum simpul karenanya
“Itu tamunya sudah menunggu, nanti kelamaan nunggu kan ndak enak” lanjutnya
“Oke mbok, tolong bilangin sama dia aku turun sebentar lagi”
“oh, yo wis, nanti aku sampaikan, mongo nak gun” pamitnya
“Ya, mbok”

Kututup kembali pintu kayu itu, bergegas kubereskan peralatan lukisku, lalu menutup lukisan setengah-jadiku dengan kain. Tiba-tiba terdengar derit pintu kaayu yang terbuka kedalam.

“Wah, wah, ternyata Da Vinci kita rupanya sedang membuat salah satu mahakarya baru ya?”

Refleks ku palingkan wajahku menuju arah sumber suara. Pintu kau itu pun semakin terbuka lebar dengan gemulainya. Sesosok sosok tak asing memasuki ruangan. Dengan langkah yakin dan pasti namun ringan tanpa beban. Sosok tegap, dengan wajah ramah muncul.

“Ardi? Ngapain kamu disini?” tanyaku penuh ekspresi kaget
“Gunawan Suryadipraja, apa kabar?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Baik, ngapain kamu disini?” ulangku.
“Iseng aja kok gun, well, ini lukisan oke juga, dapat ide darimana?” tanyanya lagi setelah memandang lukisan seorang anak gembala sedang menaiki kerbaunya, ditengah hamparan sawah yang sedang diolah, wajahnya ceria dengan senyum yang polos, sementara tangannya memegang seruling bambu. Seorang lainnya sedang berlarian dikejauhan, membawa layang-layang yang mungkin sekali baru didapatkannya entah darimana. Berlatarkan galunggung nan masyhur itu.

“Nggak dari mana-mana, ada apa ar?”

Tiba-tiba sesosok wanita muncul di depan pintu kamarku. Mbok pasmi.

“Maaf nak ini tamunya, tadi pas aku minta tunggu dia malah langsung naik keatas”
“Ooh, ya sudah mbok, nggak apa-apa, mbok kembali saja bekerja”
“Inggih nak” pamitnya seraya mengangsurkan diri ke lantai bawah. Tatapanku kembali teralih ke sosok ardi.
“Ngapain kamu disini ar? Tau dari mana alamat ini” ulangku.
“Aku tau dari salah satu sumber yang bisa dipercaya, kebetulan ibu kamu keceplosan sebut tempat ini, ya udah aku langsung korek lebih lanjut” katanya sambil menurunkan tas ransel dari bahunya.
“Dasar wartawan” jawabku seraya melanjutkan beres-beresku.
“Udah lama ya gun kita nggak ketemu, terakhir sejak kuliah tingkat akhir ya gun?” tanyanya sambil memandang ke arah luar jendela kamarku.
“Iya ar, habis itu kamu langsung kerja ya kalo aku nggak salah”
“Aku langsung dapat lamaran di sebuah surat kabar nasional, mereka lihat aku cukup kompeten dalam bidang ini, karena aku bekas aktivis katanya, kamu sendiri gimana gun? Selesai kuliah langsung hilang gitu aja?”
“Aku disini gun, menyepi dari kehidupan kota nan ramai, akua menjadi seorang peneliti disini, membantu para petani yang membutuhkan bantuan sedikit ilmu pertanian”
“Itu ciri khasmu gun, tak pernah tenang lihat orang butuh bantuan, ngomong-ngomong kamu nggak nulis lagi?” tanyanya.penuh selidik

“Permisi nak gun, ini minumannya, silahkan dinikmati, mungkin nak ardi haus”

Lagi-lagi kami berdua dikagetkan oleh kemunculan mbok pasmi yang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

“Oh, ya mbok, terimakasih” kata ardi.
“Inggih nak, aku permisi, mari” katanya seraya berjalan keluar menurini tangga sambil mengepit nampan kayunya.

“Ya mbok, makasih” kataku.
“Gun, kamu belum jawab pertanyaanku tadi, kenapa kamu ga nulis lagi?” tanyanya..
“Aku capek nulis, ar, aku mau hidup tenang disini” jawabku yang sebelumnya disertai desahan nafas penuh beban. Ardi duduk dan menyeruput tehnya yang masih mengeluarkan uap panas.

“Wah, wah, kamu berubah gun, kemana gun yang dulu dikenal sebagai penulis handal, yang banyak cerpennya meraih penghargaan, yang banyak artikelnya ditulis di koran-koran nasional, tentang pemerintah yang bobrok dan segala macam lainnya” sambarnya cepat dengan nada yang tinggi.
“Aku capek nulis ar, aku capek terus-terusan diancam oleh telepon-telepon misterius, aku betul-betul capek ar” jawabku pasrah. Ardi menggelengkan kepalanya.
“Nggak gun, kamu nggak boleh seperti ini, kamu pikir kenapa aku menjadi seorang wartawan?” Aku menggeleng. “Aku terobsesi karena kamu gun!” kata ardi masih dengan nada tinggi
“Aku ingin jadi seperti kamu yang dulu gun, karena aku nggak bisa berjuang langsung, makanya aku ingin minimal berjuang dengan pena” lanjutnya.
“Aku rasa peran aku sebagai penulis sudah cukup ar, cukup sampai disini saja” jawabku. Ardi kini berdiri berjalan mengitari ruangan. Ia mendengus melecehkan.
“Kamu benar-benar sudah berubah, banyak sekali gun” katanya.
“Dimana kamu yang dulu kukenal, kamu yang dulu mengajari aku supaya tidak pernah lelah dalam menulis, memberi masukan pada pemerintah yang lambat dan irresponsif, meskipun kita tak bisa ikut demo secara langsung, kamu yang dulu dimataku bersinar sebagai seorang pejuang pena yang gilang gemilang, gosip yang aku dengar jabatan pimpinan peneliti yang kau emban sekarang adalah pemberian seorang pejabat?”

Aku menunduk lemas, “Rasanya tak ada yang bisa kusembunyikan darimu, ar” jawabku lemah.
“Apa berarti gosip itu benar? Ceritakan padaku gun, apa yang kau lakukan setelah kuliah” kata ardi penuh amarah.
“Ceritanya panjang, ar”
“Aku tak mau peduli, kau ceritakan semuanya, dan jangan ada satu hal pun yang kau tutupi, aku mau tau yang sebenarnya gun”
“Tapi ar . . . . aku . . . aku . . . ” jawabku lirih
“Aku nggak peduli apapun gun! atau kau sudah tak percaya lagi denganku” jawabnya ketus. Aku menarik dan menghembuskan nafas penuh beban.
“Baiklah ar, kalau itu maumu” jawabku.


“Enam bulan sebelum selesai kuliah ibuku jatuh sakit, dia didiagnosis menderita penyakit unik, penyakit itu menyerang otot-otot kakinya, yang menyebabkan dia lumpuh dari pinggang kebawah, kamu tahu kemana arah pembicaraanku ar?”

Ardi menggeleng, “Teruskan gun” katanya.
“Dokter bilang ibu butuh perawatan yang intens, dan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit ar, kamu tahu kan keluargaku adalah keluarga yang sederhana, gaji bapakku hanya cukup untuk nafkah sebulan, namun kini ibu membutuhkan biaya besar untuk perawatannya”
“Ya lalu apa hubungannya dengan kamu yang menghilang” tanyanya tak sabar.
“Artikel terakhirku tentang seorang pejabat teras sebuah instansi yang bergerak di bidang ketahanan pangan nasional yang diduga keras menggelapkan dana impor beras dan cadangan beras nasional, kamu ingat?”
“Ya, sebuah artikel yang sempat menimbulkan kehebohan di media massa nasional”
“Kamu betul, dia mendatangiku langsung ar, langsung kerumahku” kataku dengan nada penuh tekanan pada kata-kata terakhirku.
“Lalu?”
“Dia ternyata tahu aku sedang membutuhkan dana untuk pengobatan ibuku”
“Itu menunjukkan dia punya jaringan yang luas terhadap siapapun yang dia kehendaki” potong ardi.
“Teruskan” lanjutnya.
“Lagi-lagi kamu betul, dia menawariku biaya total perawatan ibuku sampai sembuh, dia juga menawarkan akses penelitian untuk skripsiku di lembaganya”
“Sepertinya dia seorang pejabat besar ya gun?” potongnya lagi.
“Betul ar, namun bukan hanya itu, dia juga menjamin karirku sebagai pimpinan peneliti pertanian di tasikmalaya, seusai aku menyelesaikan studiku”
“Hmm, menarik, dan penukarnya adalah?”
“Kamu tahu ar, kondisiku saat itu sedang benar-benar terjepit, aku bahkan belum dapat dana untuk membayar biaya skripsiku”
“Kemudian? Apa biaya penukarnya” ujarnya tak sabar.
“Kamu mungkin sudah menduganya ar, aku disuruh menarik artikelku dengan memberikan artikel lain yang menunjukkan bahwa data yang aku punya tidak valid dan akan mementahkan asumsi masyarakat”
“Tapi masyarakat tidak akan percaya gun! Bukankah kamu yang telah menulis artikel tentang kebobrokan itu? Masa kamu juga yang menulis artikel yang kontra dengannya?” cetusnya ketus.
“Tidak, ar, hanya ide tulisan saja dari aku, nanti mereka tinggal mengganti penulisnya, dengan demikian mereka telah mengeliminir kemungkinan bahwa aku yang membuatnya”.
Ardi bertepuk tangan dengan senyum sinis.

“Benar-benar hebat gun, selamat! Kamu telah menipu masyarakat kita yang mengharapkan kita menjadi seorang lentera! tapi kamu? Kamu tak ubahnya kain pel yang menutupi lentera redup, gun!” dengus ardi sinis.
“Maafkan aku ar . . . aku . . . aku . . . terpaksa” sesalku.
“Simpan saja maafmu, pengkhianat!” potong ardi penuh amarah.

Kini ia berdiri memandang luar ruangan dari jendelaku. Aku ikut berdiri, sambil berjalan kearahnya.

“Apa yang bisa kulakukan ar? Aku butuh solusi saat itu, dan kupikir tawaran darinya cukup untuk mengatasi masalahku”

Ardi berbalik badan, kini kami berhadapan, matanya nyalang, penuh murka yang menggelegak, bagai api yang hendak menyambar apapun didekatnya.

“Solusi? Kau butuh solusi saat itu, heh!”. Katanya. Aku mengangguk dan menunduk.
“Bullshit gun! berbulan-bulan kau coba kuhubungi tapi tak ada jawabmu! apa dengan memutuskan komunikasi itu salah satu solusi terbaikmu? Heh!” Ia mencengkeram kerah bajuku dan menunjuk-nunjuk dadaku dengan telunjuknya, lalu kembali balikkan badan pandangi galunggung yang mungkin bisa redakan marahnya. Aku kembali duduk, dengan kepala menunduk pasrah.

“Aku tak tahu harus berbuat apa ar, semua pihak menekanku! Aku lelah . . . benar-benar lelah sekali . . .”jawabku masih sambil menunduk dengan tangan menutupi wajahku.

“Padahal kau tahu aku pasti bisa membantumu gun, aku bisa carikan kau dana untuk ibumu, kau harusnya tahu itu, sudah berapa lama kita berteman, heh!” katanya dengan pandang yang masih melekat pada kaki galunggung.
“Aku tak mau menyusahkanmu ar, sudah cukup selama ini aku merepotkanmu” jawabku lemah.

“A friend in need is a friend indeed” sahutnya tiba-tiba.
“Kamu masih ragu dengan ucapan barusan? Kamu masih ragu teman seperti apa aku ini, gun?” katanya, aku hanya dapat menggeleng lemah.
“Aku tak pernah meragukanmu, ar, tak kan pernah, kau sudah terlalu banyak membantuku, aku sudah terlalu banyak berhutang padamu”

Ardi mengangguk sinis, mengejek. “Bagus kalau kau sadar” katanya. Ia lalu kembali duduk didepanku, menyeruput tehnya yang mulai dingin. Sepertinya sudah agak tenang.

“Lalu kenapa tak kau lakukan hal itu kemarin dulu?” tanyanya.
“Aku minta maaf ar, aku mengaku salah, aku terlalu ceroboh mengambil keputusan”
“Baik, aku terima maafmu” sahutnya. Aku tersenyum kecil.
“Tapi ada syaratnya, gun” potongya cepat.

Ekspresi mukaku yang mulai cerah berubah menjadi ekspresi penuh kebingungan. Ardi kembali berdiri

“Syaratnya, kamu harus mau kembali ke dunia tulis-menulis” katanya.
“Dunia ini butuh kamu gun, banyak sekali orang yang akan menunggu karya-karyamu, entah apa itu puisi, cerpen, dan lainnya” sambungnya.
“Banyak sekali penulis di negeri ini gun, tapi kesemuanya adalah pribadi yang unik, berbeda satu dengan lainnya” lanjutnya.

Aku hanya bisa memandanginya, mencoba menjadi pendengar yang baik, sama sekali tak bermaksud memotong pembicaraannya, walau sepatah kata. Ardi masih berdiri, kini dengan ekspresi muka serius.

“Dan tiap orang akan memberikan warna tersendiri dalam dunia ini”
“Entah itu kuning, merah, bahkan hitam dan abu-abu”
“Dan perbedaan itulah yang membuat jagad raya ini menjadi lebih indah”
“Seperti kulit yang punya pigmen dengan kadar tertentu yang unik”
“Atau seperti sidik jari yang tak pernah ditemui kesamaannya pada tiap-tiap manusia yang lahir ke dunia ini”
“Tak ada yang pernah diciptakan untuk sia-sia, gun, tak akan pernah ada!”
Ardi berkata-kata dengan penuh penghayatan dalam yang baru kali ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

“Semua pasti ada gunanya, gun”
“Dan segala sesuatu akan terus bergerak sampai akhir zaman”
“Salah besar jika kamu berpikir perjalanan dan peranmu hanya cukup sampai kamu selesai kuliah saja” cerocosnya tanpa henti.

Selesai bicara ia kembali duduk dan menyeruput sisa tehnya hingga tandas. Aku terpesona dengan kata-katanya, sejak kapan ia jadi begitu mahir berkata-kata, atau aku yang selama ini terlalu membatasi diriku? Aku tersenyum kecil.

“Jujur ar, aku sebenarnya kangen dengan dunia itu” kataku. Kuseruput tehku yang sejak tadi sudah tak lagi panas.
“Kembalilah gun, gerbang itu masih terbuka lebar untukmu” jawab ardi.

Aku kembali tersenyum simpul, namun eksprseiku yang cerah kembali padam, senyumku hilang berganti pandangan dan ekspresi putus asa. Ardi yang memperhatikan menjadi agak heran dengan perubahan wajahku yang drastis itu.

“Tapi bagaimana dengan ibu, ar? Ia belum seratus persen sembuh” sahutku penuh nada kekhawatiran. Ardi tersenyum, kali ini dengan senyum yang tulus.
“Aku bisa tangani itu, yah kebetulan, aku punya beberapa teman fisioterapis, mereka akan bantu kamu” sahutnya riang.
“Tentu saja dengan biaya yang gratis, karena mereka baru saja lulus, yah hitung-hitung sebagai lahan praktek langsung mereka” sambungnya dengan penekanan pada kata-kata pertamanya. Wajahku kembali cerah beberapa saat, namun kembali cerah itu hilang. Ardi bertambah heran dengan perubahanku yang kedua kali.
“Bagaimana dengan biaya yang selama ini telah dikeluarkan oleh pejabat itu, aku pasti disuruh menggantinya, masalah pekerjaanku yang akan hilang dengan kaburnya aku ke jakarta, belum lagi keamanan aku dan ibuku yang akan terancam” jawabku cemas.

“Tenang, aku punya kenalan link dengan polisi, ia takkan berani macam-macam, kalau soal kerjaan, nanti akan kurekomendasikan kau ke surat kabar tempatku bekerja, lagipula sepertinya mereka sedang butuh seorang kolumnis, kalau soal yang lain kau tak perlu khawatir, apalagi kau bisa saja membuka rahasia mereka kapanpun, bukan?” katanya dengan senyum yang terus terkembang.
“Tapi aku masih cemas, ar” jawabku. Pandangan ardi kembali menerawang, lalu ia berkata.
“Ada kekuatan maha dahsyat yang mengendalikan jagad raya ini, kalau Dia sudah berkehendak, maka tak ada yang tak mungkin, gun, apa kau sudah tak lagi percaya dengan kekuasaan-Nya, gun?” sahutnya tiba-tiba. Aku terpekur lama. Mencoba meresapi setiap huruf yang keluar dari bibirnya tadi.

Aku kini bisa tersenyum lepas. Ardi menyodorkan tangannya.

“Bagaimana? Kita sepakat?” tanyanya cepat.
“Ah, entahlah, aku perlu banyak waktu untuk berpikir, ar” jawabku singkat.

Ardi menarik tangannya, ekspresinya kecewa.

“Ah, terserahlah gun, aku jadi capek sendiri” Ia lalu melirik jam tangan digitalnya.
“Okelah gun, aku pulang dulu ya, sepertinya waktuku sudah habis disini” katanya sambil menyampirkan kembali tas ransel di bahunya.
“Kok, buru-buru?” tanyaku heran.
“Yah, aku harus meliput beberapa berita di tasik sini” jawabnya pasti. Aku bingung, apa ada yang harus diberitakan di kota tenang ini? Tapi kutelan rasa penasaranku.
“Okelah kalau begitu, maaf ya ar, aku butuh banyak berpikir untuk hal ini, karena hal ini bukan hanya menyangkut aku, tapi ibuku, kau tahu kan dia satu-satunya orangtua yang kupunya kini”
“Yeah, take your time, bro. Aku tahu ini merupakan keputusan yang berat bagimu” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Terimakasih, untuk semuanya ar, kedatanganmu sangat berarti bagiku” jawabku.
“No prob, aku pulang dulu, bye, assalamu’alaikum, oh ya salam buat mbok pasmi, maaf aku nggak bisa pamit lagi, aku terburu-buru” cerocosnya.
“Hati-hati di jalan, ar” kataku sambil berjabatan tangan.


Kupercepat langkah kakiku menuju peron stasiun, anganku kembali mengangkasa ke pertemuanku tadi, apakah ia akan kembali kedunianya semula? Well, kuharap kehadiranku bisa mempercepat prosesnya. Telah kukantongi tiket pulang ke Jakarta, kulangkahkan kakiku menuju peron Jakarta. Kupasang kembali headphone, seuntai lagupun mengalir menemai perjalananku pulang. Kulirik sebuah minuman dingin yang menggoda mataku, Ah rasanya aku ingin sekali menikmatinya, kurogoh kantongku untuk mengambil dompetku. Astaga kok kosong ya? Kucoba mengingat-ingat kembali. Sesaat kemudian kutepuk keningku, astaga pasti ada disana, sifat jahilnya memang tak pernah pudar oleh waktu, awas kau gun!


Kuterbangun dengan tergesa, jam 6.30. Aku pasti akan terlambat hari ini, kupercepat beberapa kali lipat segala macam kegiatanku pagi itu. Jam 7.30 aku sudah sampai di kantorku. Kuhempaskan tubuhku pada kursi tempatku bekerja. Seorang rekan kerja menegurku.

“Pagi ar, bos tadi bilang ke aku kalau dia butuh laporan tentang kunjunganmu ke tasikmalaya dua minggu lalu, segera ya!”
“Oke pak, akan aku kirim secepatnya” jawabku. Ia segera berlalu, namun beberapa langkah kemudian ia kembali ketempatku.
“Kamu udah baca koran pagi ini, ar?”
“Belum pak, ada apa ya?” kataku dengan ekspresi kebingungan.
“Kamu baca aja, ada artikel menarik di halaman 32” sahutnya cepat.

Kubuka halaman 32, mataku mencari-cari artikel yang tadi disebutkan olehnya, Hmm, ini mungkin menarik. “NASI TAK SELAMANYA LEGIT, KONSPIRASI LANGIT DIBALIK HARGA BERAS YANG MELAMBUNG TINGGI” oleh G.S.Praja. Aku tersenyum penuh arti. “Welcome back, bro!”


Bekasi, 14 April 2006

NB : Untuk semua saudara/iku yang masih berkalung dalam masa-masa hibernasi,
bangkitlah wahai saudara-saudaraku, bergeraklah! karena diam berarti mati!

Friday, January 26, 2007

Tirani Teknologi

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

saya bertemu dengan teman lama, beberapa hari lalu, mereka lalu berkomentar tentang tulisan yang saya buat, katanya dalam saya nggak pernah nulis tentang iptek, oke sebuah tantangan baru saja diluncurkan, tulisan ini adalah salah satu bentuk pembelaan saya, he3, moga-moga berguna.

teknologi seringkali menjadi tolok ukur kemajuan yang diraih sebuah negara, sebuah penemuan teknologi baru seringkali beriringan dengan tingkat ke-modern-an suatu negara. dengan kata lain, ketika sebuah teknologi terkini dilahirkan dalam suatu negara, maka negara itu biasanya langsung dicap sebagai negara maju.

contohnya teknologi nuklir yang sedang dikembangkan oleh negara iran, teknologi pemurnian nuklir dapat menghasilkan energi yang luar biasa dahsyat, menurut pemerintah iran, teknologi ini akan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat, khususnya dalam bidang ketersediaan energi listrik bagi rakyatnya. iran pun langsung diberi label sebagai salah satu negara asia yang maju karena sudah bisa membuat energi nuklir.

namun apa yang terjadi, dunia internasional yang diprakarsai oleh israel mengecamnya karena takut kemampuan membuat nuklir itu akan mengancam kedaulatan negaranya. sebagai reaksi, para petinggi israel menyiapkan rencana perang terhadap negara iran. aneh bukan ? ups stop, stop, kita sedang tidak bicara soal politis, jadi sebaiknya kita hentika saja hal bahasan ini, oke ?

kembali ke laptop ! atau kita hendak mengingat-ingat ke masa lampau, dimana wright bersaudara hendak bermimpi terbang bagaikan burung di angkasa, mereka lalu berhasil mencipta sebuah pesawat terbang yang mampu terbang meski hanya beberapa detik saja, tak sampai semenit bahkan. keberhasilan wright bersaudara itulah menjadi katalis bagi para inventor lainnya untuk berlomba-lomba mencipta sebuah pesawat. akhirnya dapat kita lihat bersama, pesawat menjadi sebuah benda yang tak asing lagi di area dirgantara kita.

berkat teknologi sepertinya segala pekerjaan menjadi lebih mudah, namun ternyata tak selamanya begitu, banyak orang bilang bahwa teknologi itu bagaikan dua sisi mata uang, disatu sisi dia mempermudah pekerjaan, namun disisi lalin banyak sekali dampak negatif yang dibawa oleh teknologi, salah satunya adalah ketergantungan terhadap teknologi.

sebagai bagian dari peradaban modern, kita tentu tak bisa lepas dari komputer, entah itu dalam bentuk komputer personal yang digunakan orang rumahan atau bahkan notebook, dan segala asesoris lain yang mendukungnya, seperti USB flash, MP3 player, dsb. segala aktivitas kita dalam bekerja biasanya selalu menggunakan apapun yang berhubungan dengan komputer tersebut, entah itu mengetik di ms word, membuat spreadsheet di ms excel, membuat database di ms access, nge-net dengan internet explorer, pindahin data dengan USB Flash, atau bahkan dengerin musik favorit dengan MP3 player.

kesemua hal itu menjadi bagian tak terpisahkan dalam hidup kita, namun fatal akibatnya, karena sedikit demi sedikit kita mulai tergantung dengan teknologi itu. beberapa saat lalu gempa di taiwan menyebabkan putusnya jaringan internet ke asia tenggara, sampai saat tulisan ini dibuat koneksi masih belum normal 100 %. akibatnya banyak dari karyawan di kantor saya tidak bisa bekerja karenanya.

lain lagi dengan kisah seorang teman, ia terbiasa menulis di depan komputer, ketika PC hang dan rewel, maka ia tak lagi menulis, namun harus menunggu hingga PC nya kembali normal, yang tentu saja memerlukan waktu yang tak sedikit, tak kurang dari beberapa hari ia tidak menulis. padahal ia masih bisa menulis dengan tangannya, namun ketika saya beritahu tentang hal itu, "ia malah bilang tidak sreg menulis tanpa komputer" katanya singkat.

saya jadi teringat kisah ibu saya ketika masih kecil, betapa ia harus belajar ngaji dengan diterangi lampu semprong atau cahaya lilin, ketika ia harus berjalan berkilo-kilometer untuk sekolah, atau cerita tentang ayah yang harus menumpang kereta sapi untuk berjalan kekota, bekerja menjual barang ditengah cahaya matahari yang terik dan panas, atau cerita nenek saya, ketika ia harus belajar dengan menggunakan grip (sejenis batu tulis) untuk belajar, namun mereka semua masih bisa produktif dan berkarya, mereka terus semangat meski terkadang alam menjadi halangan terbesar mereka, terbukti mereka bisa survive sampai saat ini, masa dimana kuda sudah tak lagi bisa menggigit besi lagi.

rupanya teknologi telah menciptakan sebuah tirani ditengah-tengah umat manusia. teknologi menjadi penguasa sesungguhnya terhadap penciptanya, menjadi raja ditengah-tengah para budaknya, menggerus sisi alami dari manusia dan menumpulkan insting dan panca indra penggunanya, bahkan yang paling parah menjadi tuhan yang lebih agung dari tuhan sebenarnya.

sepertinya kita tak bisa terus-menerus berdiam diri dijajah oleh teknologi. karena ia adalah pelayan kita, ia adalah alat untuk mempermudah hidup kita bukan mempersulitnya. yuk kiembali kita tempatkan ia ke derajat sebenarnya. secara proporsional dan seimbang. agar kita bisa kembali ke kodrat kita yang sebenarnya, khalifatullah fil ardh, pengelola dan pemakmur bumi.

wassalam
al-fakir ad-dhaif
varendy

Tuesday, January 16, 2007

The Memory Remains

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

sebuah kenangan nampaknya akan selalu menjadi bagian dari hidup seorang manusia, entah itu kenangan buruk ataupun kenangan baik, masa lalu selalu bisa menjadi sebuah cerita unik, pelajaran-pelajaran, hikmah bahkan ide bisa didapat dari pengalaman masa lalu.

hari itu, 10 Januari 2007, friendster saya tiba-tiba dikejutkan oleh permintaan menjadi teman (friend request) dari seorang bernama anisa, saya sama sekali tidak mengenalnya pertama kali saya melihat friendsternya, namun toh tetap saya approve juga friend request tersebut.

sehari kemudian ternyata teman baru saya tersebut mengirim sebuah email, inti dri pesannya adalah bahwa akan diadakan reuni kembali teman-teman saya ketika masih berada di bangku sekolah dasar. wah nggak salah denger nih, teman SD ? pikir saya. namun saya balas juga email tersebut dengan mencantumkan no telp pribadi saya pada balasannya.

ternyata pertemuan itu terwujud juga, dua hari setelah email terakhir saya terima agenda makan malam yang diusung di sebuah cafe bergaya arsitektur minimalis pun bisa kami jalani dengan baik. tak banyak memang yang datang, hampir seperempat dari jumlah kami ketika masih sekolah dulu.

hanya sepuluh orang yang datang, namun kuantitas bukanlah segalanya, seperti layaknya pertemuan reuni, kami banyak berbagi cerita tentang masa lalu, seperti berebut cerita-cerita seru, aneh, unik, memalukan, bahkan skandal-skandal masa kecil pun menjadi bumbunya. maklum sudah lebih dari sepuluh tahun kami tidak bertemu.

pertemuan itupun berlanjut di tenda warung indomie ketika kami sudah merasa "diusir" dari cafe tersebut, maklum saja jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. cerita pun kembali bergulir dengan derasnya, sampai akhirnya arus deras itu harus terhenti dengan waktu, pukul setengah duabelas kami sepakat menyudahi pertemuan bersejarah itu. kami juga berjanji bahwa ini bukan merupakan pertemuan terakhir, artinya akan ada pertemuan yang lebih seru lagi diwaktu yang akan datang.

huff memang ketika kita sudah lam tak bertemu cerita masa lalu akan selalu menjadi bumbunya. jadi malu juga kadang-kadang, saya diwaktu kecil bener-benar sesosok pribadi yang seratus delapan puluh derajat berbeda dengan sosok saya yang sekarang.

saya dahulu merupakan sesosok loser sejati, sosok yang pendiam, tak banyak bicara, cenderung tertutup, dan seringkali menghindari keramaian. sementara saya yang sekarang cenderung memiliki sifat-sifat yang berlawanan dengan sifat saya dahulu.

tapi eits, nanti dulu, ternyata sifat-sifat saya sewaktu masih kecil masih ada yang membekas sampai sekarang, saya memang lebih banyak berbicara sekarang, tapi ketika saya diam, saya menemukan sesuatu yang tidak bisa saya dapat ketika saya berbicara, hal itu terjawab ketika saya membaca sebuah buku psikologi berjudul personality plus.

menurut buku itu, ternyata sifat-sifat dasar seorang manusia masih dan akan terus tertinggal dalam diri saya selama dia hidup, hal ini bahkan telah diabadikan oleh grup band asal inggris, coldplay, dalam lagunya yang berjudul "we never change", hal itu membuat saya berpikir, ternyata baru dalam usia saya yang dua puluh satu ini saya bisa menemukan dan mengenali jati diri saya yang sebenarnya. kelemahan dan kekuatan saya.

hal ini membuat saya menjadi mampu untuk memenej diri saya lebih baik lagi. lho kok bisa, ya bisa lah, karena dengan mengetahui diri kita yang sebenarnya kita akan mempu memperkuat apa yang menjadi kekuatan kita, dan memperlemah apa yang menjadi kelemahan saya. kedua hal itu ternyata bisa dilakukan secara simultan.

semua itu tak terlepas dari reuni yang mungkin bagi sebagian besar orang hanya menjadi ajang yang sia-sia, nampaknya saya harus berterimakasih kepada teman-teman SD saya dulu yang telah membongkar sebagian besar kelakuan saya waktu kecil dahulu, sehingga menyebabkan saya mempu menyegarkan kembali memory yang telah lama lekang oleh waktu. thanks a lot guys . . .

wassalam
al-fakir ad-dhaif
varendy

Friday, January 12, 2007

A Journey To Remember . . . . (Part 2)

assalamu'alaikum

selamat sore dunia !

ketika adzan selesai kami memutuskan untuk makan siang terlebih dahulu baru mulai sholat, saya memanfaatkan momen tersebut untuk makan siang sembari mengobrol dengan para volunteer Rumah Dunia.

salah satunya adalah bang kijing, begitulah biasa ia dipanggil, di Rumah Dunia ini beliau diamanahi jabatan humas, kalau saya tidak salah. dia merupakan seorang volunteer senior yang telah lebih dari 3 tahun bergabung dengan Rumah Dunia. sambil menikati ayam goreng yang digoreng dengan cara amerika saya membuka diskusi kami kali itu.

"gimana pertama kali bang kijing bisa ada di Rumah Dunia ini?" tanya saya

"yang paling saya ingat dari pertamakali saya menginjakkan kaki di Rumah Dunia adalah kata-kata mas gong" ia mulai bercerita, matanya menerawang seperti hendak menarik kembali kenangan masa lalunya.

"apa yang kamu mau dari saya ?" tanya mas gong
"kalau kamu mencari harta disini bukan tempatnya, kami tidak punya harta untuk dibagi, dan kami tidak mengizinkan kalau kamu berniat mencari harta disini"
"tapi kalau kamu mau cari ilmu, disini memang tempatnya" lanjut mas gong cepat

ketika menceritakan masa-masa awal itu bibir bang kijing mengulas sebuah senyum simpul. sesaat kemudian ia menjentikkan tangannya bagai orang yang baru saja menemukan sebuah ide.

"ada lagi yang lain" sahutnya

"disini kita semua melakukan segala sesuatu bersama, tidak ada senior-junior disini, kita semua sama, semua adalah pelayan, kalau kamu mau bergabung kamu harus mau melayani, baik diri kamu sendiri maupun tamu yang datang, tidak boleh ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain disini, semua sama"

"begitulah kondisi ketika saya baru masuk ke sini, semangat egaliter itulah yang menjadi hal pertama yang saya terima ketika bergabung" sahut bang kijing.

saya yang mendengarnya hanya bisa terkagum dalam hati, beginilah awalan Rumah Dunia dibangun, dengan mimpi dan semangat kebersamaan yang kental. akhirnya nasi di styrofoam pun habis dan kami bersama segera menunaikan kewajiban yang sempat tertunda tadi.

selesai sholat, kamipun segera bersiap untuk acara utama, yaitu sebuah materi penulisan yang berjudul asyiknya menjadi penulis, diskusi seru ini langsung disampaikan oleh mas gong sendiri.

"ada beberapa konsep jurnalistik yang harus kamu punyai ketika membuat suatu cerpen, yaitu
W dan 1H"
"4W terdiri dari who, when, what, dan why, sedangkan 1H adalah how"
"keempat unsur ini merupakan unsur yang harus ada dalam cerpen, bisa dimulai dengan salah satu dari kelimanya"

diskusi sendiri sempat terganggu karena ulah anak mas gong yang ngelendot sama bapaknya dan segera mencoret-coret lantai dengan spidolnya, odie panggilannya, anak ketiga dari mas gong dan mbak tyas.

respon mas gong agak berbeda dengan respon para orang tua biasa, alih-alih melarang kegiatan "terlarang" anaknya, ia malah mensupport dan memberikan arahan agar gambar anaknya terlihat lebih baik.

dari sini timbul kesan bahwa keluarga ini memang benar-benar penuh kasih, dekat dengan alam dan sangat demokratis.

diskusi ditutup dengan sebuah pesan dari mas gong

"jika kamu ingin melakukan sesuatu mintalah restu dari orang tuamu, karena sesungguhnya restu orangtua itu sangat penting bagi dirimu"

diskusi itu sendiri berlangsung selama kurang lebih satu jam, kemudian dilanjutkan dengan acara pelantikan dan beberapa games seru. selanjutnya adalah acara bebas sebelum pulang.

saya memanfaatkan momen ini untuk berkunjung berkeliling RUmah Dunia dan ke rumah mas gong yang terletak di samping Rumah Dunia.

saya melihat bahwa buku-buku bertebaran di segala penjuru sudut Rumah Dunia, entah itu di ayunan main, atau bahkan di panggung teater. ketika saya bertanya tentang hal ini, para volunteer menjawab bahwa memang demikian disini, buku-buku memang sengaja diserakkan, agar kelak anak-anak dan para volunteer dekat dengan buku, dan cinta membaca.

sedangkan rumah mas gong sendiri berkesan natural dan menyatu dengan sekitarnya. kandang-kandang hewan menghiasi halamannya, tiga ekor kelinci bahwan dibiarkan berkelana di pelataran Rumah Dunia.

langkah saya terhenti ketika melihat sebuah mesin tik yang dibingkai kaca plastik. dibawahnya tertulis kata-kata "Rumahku Rumah Dunia, Kubangun Dengan Kata-Kata"

"itu meruakan mesin tik pertama saya, ketika saya masih merintis menjadi penulis, dibelikan oleh ayah saya dengan cara kredit, sekarang saya bingkai dan saya jadikan sebuah monumen"
sahut mas gong tiba-tiba dari belakang saya

"dan kata-kata dibawah itu benar-benar terbukti, seluruh pembangunan Rumah Dunia ini memang bersumber dari kata-kata, entah itu royalti buku saya, ataupun gaji saya menjadi seorang scriptwriter" lanjutnya.

tak terasa sudah hampir empat jam kami disana, saat berpisah pun telah tiba, kami segera bersiap-siap untuk pulang, sebelum pulang kami berdo'a, setelahnya mas gong didaulat untuk menyampaikan pesan terakhirnya untuk kami.

"kalian cepatlah berumah tangga, carilah seorang pasangan yang seide dengan kalian, hal itu akan memudahkan langkah kalian menjadi penulis"

saya tersenyum dan seorang teman berbisik

"ah payah nih, nggak ustadz, nggak penulis pesennya sama, buruan nikah !!!"

saya hanya bisa tergelak mendengar komentarnya

kamipun segera menuju bus untuk pulang setelah sebelumnya berfoto bersama di pintu gerbang Rumah Dunia.

senja kali itu terasa lebih indah dari senja biasanya, diiringi lambaian tangan ramah sang pemilik Rumah Dunia, bus kami pun melaju meninggalkan berjuta kenangan indah kami di Rumah Dunia.

benar-benar "A Journey To Remember . . ."

"saya pasti akan kembali lagi kesini" benak saya

bus pun menderu kencang, namun dalam hati telah terpatri sebuah keinginan kuat.

"kami harus jadi seorang penulis !"