varendy's blog

for those who wanted to make a truly friendship buat penulis di seluruh dunia, kenalan yuk . . .

Monday, January 29, 2007

Hibernasi (sebuah cerpen)

Hibernasi
Oleh : Abu Ayyash Alkindi

Kulayangkan pandangku melalui kaca jendela
Dari tempat kebersandar seiring lantun kereta
Membawaku melintasi tempat-tempat yang indah
Menbuat isi hidupku penuh riuh dan berwarna

Seuntai lagu dari sebuah grup band yang aku ingin sekali bisa bersikap seperti nama grup itu, ketika kita makin berisi dengan ilmu dan umur kita, maka kita akan makin tunduk menyentuh tanah, apa aku bisa ya? Lagu itu menemani aku menyusuri perjalananku menuju tasikmalaya, kenapa bisa pas sekali ya? Ah entahlah, toh semua itu sudah ada yang mengaturnya. Senyumku mengembang ketika anganku melayang, ia pasti kaget saat mengetahui aku berada di tasikmalaya.


Ketukan pintu bergema ketika pintu kayu itu diketuk dari luar. Ketukan itu memaksuku menghentikan goresan kuasku pada lukisan setengah-jadi lereng kaki galunggung yang berada di depanku. Dengan malas kubuka pintu kamarku. Seorang wanita paruh baya dengan senyum terkembang muncul di depan pintu. Ia mbok pasmi, seorang pembantu rumah tangga yang sangat setia pada keluarga ini, sudah bertahun-tahun ia mengabdi pada keluarga ini. Keluarga ini pun telah menganggapnya sebagai bagian dari keluarga, bukan lagi yang sebagai pembantu rumah tangga.

“Maaf den gun, ada tamu nunggu aden dibawah” katanya dengan ibu jari yang menunjuk kearah tangga menuju lantai bawah. Khas sekali ciri masyarakat jawa yang masih memegang adat.
“Aduh, mbok pasmi ini, kan udah aku bilangin, kalo manggil nggak usah pake den didepannya” jawabku tanpa bernada tinggi dalam kandungan suaraku.
“Maaf den, eh gun, udah kebiasaan” Ia mengurangi kta den ketika melihat tatapan mata ku yang berubah, aku tersenyum kecil.
“Kalo mbok pasmi mau panggil aku nak aja, gimana?”
“Inggih den, eh nak gun” aku kembali tersenyum simpul karenanya
“Itu tamunya sudah menunggu, nanti kelamaan nunggu kan ndak enak” lanjutnya
“Oke mbok, tolong bilangin sama dia aku turun sebentar lagi”
“oh, yo wis, nanti aku sampaikan, mongo nak gun” pamitnya
“Ya, mbok”

Kututup kembali pintu kayu itu, bergegas kubereskan peralatan lukisku, lalu menutup lukisan setengah-jadiku dengan kain. Tiba-tiba terdengar derit pintu kaayu yang terbuka kedalam.

“Wah, wah, ternyata Da Vinci kita rupanya sedang membuat salah satu mahakarya baru ya?”

Refleks ku palingkan wajahku menuju arah sumber suara. Pintu kau itu pun semakin terbuka lebar dengan gemulainya. Sesosok sosok tak asing memasuki ruangan. Dengan langkah yakin dan pasti namun ringan tanpa beban. Sosok tegap, dengan wajah ramah muncul.

“Ardi? Ngapain kamu disini?” tanyaku penuh ekspresi kaget
“Gunawan Suryadipraja, apa kabar?” tanyanya tanpa menjawab pertanyaanku.
“Baik, ngapain kamu disini?” ulangku.
“Iseng aja kok gun, well, ini lukisan oke juga, dapat ide darimana?” tanyanya lagi setelah memandang lukisan seorang anak gembala sedang menaiki kerbaunya, ditengah hamparan sawah yang sedang diolah, wajahnya ceria dengan senyum yang polos, sementara tangannya memegang seruling bambu. Seorang lainnya sedang berlarian dikejauhan, membawa layang-layang yang mungkin sekali baru didapatkannya entah darimana. Berlatarkan galunggung nan masyhur itu.

“Nggak dari mana-mana, ada apa ar?”

Tiba-tiba sesosok wanita muncul di depan pintu kamarku. Mbok pasmi.

“Maaf nak ini tamunya, tadi pas aku minta tunggu dia malah langsung naik keatas”
“Ooh, ya sudah mbok, nggak apa-apa, mbok kembali saja bekerja”
“Inggih nak” pamitnya seraya mengangsurkan diri ke lantai bawah. Tatapanku kembali teralih ke sosok ardi.
“Ngapain kamu disini ar? Tau dari mana alamat ini” ulangku.
“Aku tau dari salah satu sumber yang bisa dipercaya, kebetulan ibu kamu keceplosan sebut tempat ini, ya udah aku langsung korek lebih lanjut” katanya sambil menurunkan tas ransel dari bahunya.
“Dasar wartawan” jawabku seraya melanjutkan beres-beresku.
“Udah lama ya gun kita nggak ketemu, terakhir sejak kuliah tingkat akhir ya gun?” tanyanya sambil memandang ke arah luar jendela kamarku.
“Iya ar, habis itu kamu langsung kerja ya kalo aku nggak salah”
“Aku langsung dapat lamaran di sebuah surat kabar nasional, mereka lihat aku cukup kompeten dalam bidang ini, karena aku bekas aktivis katanya, kamu sendiri gimana gun? Selesai kuliah langsung hilang gitu aja?”
“Aku disini gun, menyepi dari kehidupan kota nan ramai, akua menjadi seorang peneliti disini, membantu para petani yang membutuhkan bantuan sedikit ilmu pertanian”
“Itu ciri khasmu gun, tak pernah tenang lihat orang butuh bantuan, ngomong-ngomong kamu nggak nulis lagi?” tanyanya.penuh selidik

“Permisi nak gun, ini minumannya, silahkan dinikmati, mungkin nak ardi haus”

Lagi-lagi kami berdua dikagetkan oleh kemunculan mbok pasmi yang membawa nampan berisi dua cangkir teh hangat.

“Oh, ya mbok, terimakasih” kata ardi.
“Inggih nak, aku permisi, mari” katanya seraya berjalan keluar menurini tangga sambil mengepit nampan kayunya.

“Ya mbok, makasih” kataku.
“Gun, kamu belum jawab pertanyaanku tadi, kenapa kamu ga nulis lagi?” tanyanya..
“Aku capek nulis, ar, aku mau hidup tenang disini” jawabku yang sebelumnya disertai desahan nafas penuh beban. Ardi duduk dan menyeruput tehnya yang masih mengeluarkan uap panas.

“Wah, wah, kamu berubah gun, kemana gun yang dulu dikenal sebagai penulis handal, yang banyak cerpennya meraih penghargaan, yang banyak artikelnya ditulis di koran-koran nasional, tentang pemerintah yang bobrok dan segala macam lainnya” sambarnya cepat dengan nada yang tinggi.
“Aku capek nulis ar, aku capek terus-terusan diancam oleh telepon-telepon misterius, aku betul-betul capek ar” jawabku pasrah. Ardi menggelengkan kepalanya.
“Nggak gun, kamu nggak boleh seperti ini, kamu pikir kenapa aku menjadi seorang wartawan?” Aku menggeleng. “Aku terobsesi karena kamu gun!” kata ardi masih dengan nada tinggi
“Aku ingin jadi seperti kamu yang dulu gun, karena aku nggak bisa berjuang langsung, makanya aku ingin minimal berjuang dengan pena” lanjutnya.
“Aku rasa peran aku sebagai penulis sudah cukup ar, cukup sampai disini saja” jawabku. Ardi kini berdiri berjalan mengitari ruangan. Ia mendengus melecehkan.
“Kamu benar-benar sudah berubah, banyak sekali gun” katanya.
“Dimana kamu yang dulu kukenal, kamu yang dulu mengajari aku supaya tidak pernah lelah dalam menulis, memberi masukan pada pemerintah yang lambat dan irresponsif, meskipun kita tak bisa ikut demo secara langsung, kamu yang dulu dimataku bersinar sebagai seorang pejuang pena yang gilang gemilang, gosip yang aku dengar jabatan pimpinan peneliti yang kau emban sekarang adalah pemberian seorang pejabat?”

Aku menunduk lemas, “Rasanya tak ada yang bisa kusembunyikan darimu, ar” jawabku lemah.
“Apa berarti gosip itu benar? Ceritakan padaku gun, apa yang kau lakukan setelah kuliah” kata ardi penuh amarah.
“Ceritanya panjang, ar”
“Aku tak mau peduli, kau ceritakan semuanya, dan jangan ada satu hal pun yang kau tutupi, aku mau tau yang sebenarnya gun”
“Tapi ar . . . . aku . . . aku . . . ” jawabku lirih
“Aku nggak peduli apapun gun! atau kau sudah tak percaya lagi denganku” jawabnya ketus. Aku menarik dan menghembuskan nafas penuh beban.
“Baiklah ar, kalau itu maumu” jawabku.


“Enam bulan sebelum selesai kuliah ibuku jatuh sakit, dia didiagnosis menderita penyakit unik, penyakit itu menyerang otot-otot kakinya, yang menyebabkan dia lumpuh dari pinggang kebawah, kamu tahu kemana arah pembicaraanku ar?”

Ardi menggeleng, “Teruskan gun” katanya.
“Dokter bilang ibu butuh perawatan yang intens, dan itu membutuhkan biaya yang tak sedikit ar, kamu tahu kan keluargaku adalah keluarga yang sederhana, gaji bapakku hanya cukup untuk nafkah sebulan, namun kini ibu membutuhkan biaya besar untuk perawatannya”
“Ya lalu apa hubungannya dengan kamu yang menghilang” tanyanya tak sabar.
“Artikel terakhirku tentang seorang pejabat teras sebuah instansi yang bergerak di bidang ketahanan pangan nasional yang diduga keras menggelapkan dana impor beras dan cadangan beras nasional, kamu ingat?”
“Ya, sebuah artikel yang sempat menimbulkan kehebohan di media massa nasional”
“Kamu betul, dia mendatangiku langsung ar, langsung kerumahku” kataku dengan nada penuh tekanan pada kata-kata terakhirku.
“Lalu?”
“Dia ternyata tahu aku sedang membutuhkan dana untuk pengobatan ibuku”
“Itu menunjukkan dia punya jaringan yang luas terhadap siapapun yang dia kehendaki” potong ardi.
“Teruskan” lanjutnya.
“Lagi-lagi kamu betul, dia menawariku biaya total perawatan ibuku sampai sembuh, dia juga menawarkan akses penelitian untuk skripsiku di lembaganya”
“Sepertinya dia seorang pejabat besar ya gun?” potongnya lagi.
“Betul ar, namun bukan hanya itu, dia juga menjamin karirku sebagai pimpinan peneliti pertanian di tasikmalaya, seusai aku menyelesaikan studiku”
“Hmm, menarik, dan penukarnya adalah?”
“Kamu tahu ar, kondisiku saat itu sedang benar-benar terjepit, aku bahkan belum dapat dana untuk membayar biaya skripsiku”
“Kemudian? Apa biaya penukarnya” ujarnya tak sabar.
“Kamu mungkin sudah menduganya ar, aku disuruh menarik artikelku dengan memberikan artikel lain yang menunjukkan bahwa data yang aku punya tidak valid dan akan mementahkan asumsi masyarakat”
“Tapi masyarakat tidak akan percaya gun! Bukankah kamu yang telah menulis artikel tentang kebobrokan itu? Masa kamu juga yang menulis artikel yang kontra dengannya?” cetusnya ketus.
“Tidak, ar, hanya ide tulisan saja dari aku, nanti mereka tinggal mengganti penulisnya, dengan demikian mereka telah mengeliminir kemungkinan bahwa aku yang membuatnya”.
Ardi bertepuk tangan dengan senyum sinis.

“Benar-benar hebat gun, selamat! Kamu telah menipu masyarakat kita yang mengharapkan kita menjadi seorang lentera! tapi kamu? Kamu tak ubahnya kain pel yang menutupi lentera redup, gun!” dengus ardi sinis.
“Maafkan aku ar . . . aku . . . aku . . . terpaksa” sesalku.
“Simpan saja maafmu, pengkhianat!” potong ardi penuh amarah.

Kini ia berdiri memandang luar ruangan dari jendelaku. Aku ikut berdiri, sambil berjalan kearahnya.

“Apa yang bisa kulakukan ar? Aku butuh solusi saat itu, dan kupikir tawaran darinya cukup untuk mengatasi masalahku”

Ardi berbalik badan, kini kami berhadapan, matanya nyalang, penuh murka yang menggelegak, bagai api yang hendak menyambar apapun didekatnya.

“Solusi? Kau butuh solusi saat itu, heh!”. Katanya. Aku mengangguk dan menunduk.
“Bullshit gun! berbulan-bulan kau coba kuhubungi tapi tak ada jawabmu! apa dengan memutuskan komunikasi itu salah satu solusi terbaikmu? Heh!” Ia mencengkeram kerah bajuku dan menunjuk-nunjuk dadaku dengan telunjuknya, lalu kembali balikkan badan pandangi galunggung yang mungkin bisa redakan marahnya. Aku kembali duduk, dengan kepala menunduk pasrah.

“Aku tak tahu harus berbuat apa ar, semua pihak menekanku! Aku lelah . . . benar-benar lelah sekali . . .”jawabku masih sambil menunduk dengan tangan menutupi wajahku.

“Padahal kau tahu aku pasti bisa membantumu gun, aku bisa carikan kau dana untuk ibumu, kau harusnya tahu itu, sudah berapa lama kita berteman, heh!” katanya dengan pandang yang masih melekat pada kaki galunggung.
“Aku tak mau menyusahkanmu ar, sudah cukup selama ini aku merepotkanmu” jawabku lemah.

“A friend in need is a friend indeed” sahutnya tiba-tiba.
“Kamu masih ragu dengan ucapan barusan? Kamu masih ragu teman seperti apa aku ini, gun?” katanya, aku hanya dapat menggeleng lemah.
“Aku tak pernah meragukanmu, ar, tak kan pernah, kau sudah terlalu banyak membantuku, aku sudah terlalu banyak berhutang padamu”

Ardi mengangguk sinis, mengejek. “Bagus kalau kau sadar” katanya. Ia lalu kembali duduk didepanku, menyeruput tehnya yang mulai dingin. Sepertinya sudah agak tenang.

“Lalu kenapa tak kau lakukan hal itu kemarin dulu?” tanyanya.
“Aku minta maaf ar, aku mengaku salah, aku terlalu ceroboh mengambil keputusan”
“Baik, aku terima maafmu” sahutnya. Aku tersenyum kecil.
“Tapi ada syaratnya, gun” potongya cepat.

Ekspresi mukaku yang mulai cerah berubah menjadi ekspresi penuh kebingungan. Ardi kembali berdiri

“Syaratnya, kamu harus mau kembali ke dunia tulis-menulis” katanya.
“Dunia ini butuh kamu gun, banyak sekali orang yang akan menunggu karya-karyamu, entah apa itu puisi, cerpen, dan lainnya” sambungnya.
“Banyak sekali penulis di negeri ini gun, tapi kesemuanya adalah pribadi yang unik, berbeda satu dengan lainnya” lanjutnya.

Aku hanya bisa memandanginya, mencoba menjadi pendengar yang baik, sama sekali tak bermaksud memotong pembicaraannya, walau sepatah kata. Ardi masih berdiri, kini dengan ekspresi muka serius.

“Dan tiap orang akan memberikan warna tersendiri dalam dunia ini”
“Entah itu kuning, merah, bahkan hitam dan abu-abu”
“Dan perbedaan itulah yang membuat jagad raya ini menjadi lebih indah”
“Seperti kulit yang punya pigmen dengan kadar tertentu yang unik”
“Atau seperti sidik jari yang tak pernah ditemui kesamaannya pada tiap-tiap manusia yang lahir ke dunia ini”
“Tak ada yang pernah diciptakan untuk sia-sia, gun, tak akan pernah ada!”
Ardi berkata-kata dengan penuh penghayatan dalam yang baru kali ini kusaksikan dengan mata kepalaku sendiri.

“Semua pasti ada gunanya, gun”
“Dan segala sesuatu akan terus bergerak sampai akhir zaman”
“Salah besar jika kamu berpikir perjalanan dan peranmu hanya cukup sampai kamu selesai kuliah saja” cerocosnya tanpa henti.

Selesai bicara ia kembali duduk dan menyeruput sisa tehnya hingga tandas. Aku terpesona dengan kata-katanya, sejak kapan ia jadi begitu mahir berkata-kata, atau aku yang selama ini terlalu membatasi diriku? Aku tersenyum kecil.

“Jujur ar, aku sebenarnya kangen dengan dunia itu” kataku. Kuseruput tehku yang sejak tadi sudah tak lagi panas.
“Kembalilah gun, gerbang itu masih terbuka lebar untukmu” jawab ardi.

Aku kembali tersenyum simpul, namun eksprseiku yang cerah kembali padam, senyumku hilang berganti pandangan dan ekspresi putus asa. Ardi yang memperhatikan menjadi agak heran dengan perubahan wajahku yang drastis itu.

“Tapi bagaimana dengan ibu, ar? Ia belum seratus persen sembuh” sahutku penuh nada kekhawatiran. Ardi tersenyum, kali ini dengan senyum yang tulus.
“Aku bisa tangani itu, yah kebetulan, aku punya beberapa teman fisioterapis, mereka akan bantu kamu” sahutnya riang.
“Tentu saja dengan biaya yang gratis, karena mereka baru saja lulus, yah hitung-hitung sebagai lahan praktek langsung mereka” sambungnya dengan penekanan pada kata-kata pertamanya. Wajahku kembali cerah beberapa saat, namun kembali cerah itu hilang. Ardi bertambah heran dengan perubahanku yang kedua kali.
“Bagaimana dengan biaya yang selama ini telah dikeluarkan oleh pejabat itu, aku pasti disuruh menggantinya, masalah pekerjaanku yang akan hilang dengan kaburnya aku ke jakarta, belum lagi keamanan aku dan ibuku yang akan terancam” jawabku cemas.

“Tenang, aku punya kenalan link dengan polisi, ia takkan berani macam-macam, kalau soal kerjaan, nanti akan kurekomendasikan kau ke surat kabar tempatku bekerja, lagipula sepertinya mereka sedang butuh seorang kolumnis, kalau soal yang lain kau tak perlu khawatir, apalagi kau bisa saja membuka rahasia mereka kapanpun, bukan?” katanya dengan senyum yang terus terkembang.
“Tapi aku masih cemas, ar” jawabku. Pandangan ardi kembali menerawang, lalu ia berkata.
“Ada kekuatan maha dahsyat yang mengendalikan jagad raya ini, kalau Dia sudah berkehendak, maka tak ada yang tak mungkin, gun, apa kau sudah tak lagi percaya dengan kekuasaan-Nya, gun?” sahutnya tiba-tiba. Aku terpekur lama. Mencoba meresapi setiap huruf yang keluar dari bibirnya tadi.

Aku kini bisa tersenyum lepas. Ardi menyodorkan tangannya.

“Bagaimana? Kita sepakat?” tanyanya cepat.
“Ah, entahlah, aku perlu banyak waktu untuk berpikir, ar” jawabku singkat.

Ardi menarik tangannya, ekspresinya kecewa.

“Ah, terserahlah gun, aku jadi capek sendiri” Ia lalu melirik jam tangan digitalnya.
“Okelah gun, aku pulang dulu ya, sepertinya waktuku sudah habis disini” katanya sambil menyampirkan kembali tas ransel di bahunya.
“Kok, buru-buru?” tanyaku heran.
“Yah, aku harus meliput beberapa berita di tasik sini” jawabnya pasti. Aku bingung, apa ada yang harus diberitakan di kota tenang ini? Tapi kutelan rasa penasaranku.
“Okelah kalau begitu, maaf ya ar, aku butuh banyak berpikir untuk hal ini, karena hal ini bukan hanya menyangkut aku, tapi ibuku, kau tahu kan dia satu-satunya orangtua yang kupunya kini”
“Yeah, take your time, bro. Aku tahu ini merupakan keputusan yang berat bagimu” katanya sambil menepuk-nepuk pundakku.
“Terimakasih, untuk semuanya ar, kedatanganmu sangat berarti bagiku” jawabku.
“No prob, aku pulang dulu, bye, assalamu’alaikum, oh ya salam buat mbok pasmi, maaf aku nggak bisa pamit lagi, aku terburu-buru” cerocosnya.
“Hati-hati di jalan, ar” kataku sambil berjabatan tangan.


Kupercepat langkah kakiku menuju peron stasiun, anganku kembali mengangkasa ke pertemuanku tadi, apakah ia akan kembali kedunianya semula? Well, kuharap kehadiranku bisa mempercepat prosesnya. Telah kukantongi tiket pulang ke Jakarta, kulangkahkan kakiku menuju peron Jakarta. Kupasang kembali headphone, seuntai lagupun mengalir menemai perjalananku pulang. Kulirik sebuah minuman dingin yang menggoda mataku, Ah rasanya aku ingin sekali menikmatinya, kurogoh kantongku untuk mengambil dompetku. Astaga kok kosong ya? Kucoba mengingat-ingat kembali. Sesaat kemudian kutepuk keningku, astaga pasti ada disana, sifat jahilnya memang tak pernah pudar oleh waktu, awas kau gun!


Kuterbangun dengan tergesa, jam 6.30. Aku pasti akan terlambat hari ini, kupercepat beberapa kali lipat segala macam kegiatanku pagi itu. Jam 7.30 aku sudah sampai di kantorku. Kuhempaskan tubuhku pada kursi tempatku bekerja. Seorang rekan kerja menegurku.

“Pagi ar, bos tadi bilang ke aku kalau dia butuh laporan tentang kunjunganmu ke tasikmalaya dua minggu lalu, segera ya!”
“Oke pak, akan aku kirim secepatnya” jawabku. Ia segera berlalu, namun beberapa langkah kemudian ia kembali ketempatku.
“Kamu udah baca koran pagi ini, ar?”
“Belum pak, ada apa ya?” kataku dengan ekspresi kebingungan.
“Kamu baca aja, ada artikel menarik di halaman 32” sahutnya cepat.

Kubuka halaman 32, mataku mencari-cari artikel yang tadi disebutkan olehnya, Hmm, ini mungkin menarik. “NASI TAK SELAMANYA LEGIT, KONSPIRASI LANGIT DIBALIK HARGA BERAS YANG MELAMBUNG TINGGI” oleh G.S.Praja. Aku tersenyum penuh arti. “Welcome back, bro!”


Bekasi, 14 April 2006

NB : Untuk semua saudara/iku yang masih berkalung dalam masa-masa hibernasi,
bangkitlah wahai saudara-saudaraku, bergeraklah! karena diam berarti mati!

0 Comments:

Post a Comment

<< Home